Wednesday, March 6, 2019

Trend Ekspor Indonesia



Seringkali, periode krisis dapat menyebabkan perhatian hanya berfokus pada jangka pendek dan dalam aspek negatif yang dapat mengarah pada kesimpulan yang tidak akurat. Tentu saja Indonesia menghadapi periode yang rumit dalam perdagangan internasionalnya. Ekspor Indonesia mulai secara bertahap kembali menguat setelah jatuh pada tahun 2014. Masalah nyatanya adalah bahwa tekanan impor yang tumbuh lebih cepat daripada ekspor. Secara garis besar, ekspor barang meningkat dari US$66 miliar pada tahun 2004 menjadi lebih dari US$168 miliar pada 2017. Namun, impor barang meningkat dari US$46 miliar menjadi US$150 milar. Di bidang jasa, Indonesia secara historis menghadapi defisit perdagangan. Total neraca perdagangan Indonesia sejak 2012 berubah dari surplus menjadi defisit. Namun, ada baiknya kita bertanya, apa yang telah terjadi dalam dekade terakhir perdagangan internasional di Indonesia?

Secara umum, sulit untuk menyimpulkan apa yang telah terjadi pada perdagangan Indonesia dan apakah dalam beberapa tahun terakhir pembukaan perdagangan telah menguntungkan atau merugikan Indonesia. Puncak ekspor Indonesia terjadi pada tahun 2011 dengan nilai US$203 miliar. Setelah tahun 2011 ekspor turun, antara lain karena harga komoditas dan permintaan di pasar tradisional yang drop secara besar. Nilai ekspor mineral drop -52% antara tahun 2010 dan 2017, bahan bakar turun -21%, dan plastik -12%. Pada tahun 2012, saat bonanza dari harga tinggi dalam komoditas memudar, nilai ekspor komoditas runtuh, sedangkan Indonesia tidak siap menghadapi turunnya pasar. Namun, Indonesia mendapatkan udara segar dengan munculnya permintaan untuk produk tanaman (vegetable oils), produk kimia, batu (stone) dan kaca. Demikian juga, Indonesia berhasil keluar dari defisit dalam produk kendaraan transportasi dan menjadi surplus. Ada pula produk kayu, alas kaki, tekstil, dan produk hewani juga mendukung pertumbuhan positif dalam ekspor.

Tapi apa yang terjadi pada level produk berdasarkan proses atau penggunaannya? Sejak lama, Indonesia memiliki neraca perdagangan defisit di barang modal pada hampir semua kategori di bawah Capital Goods. Defisit masih di atas US$27 miliar dan belum ada sinyal positif bahwa Indonesia dapat membalik defisit perdagangan barang modal. Kelompok produk lain yang juga menghadapi beberapa kesulitan adalah produk setengah jadi. 
Setelah tahun 2012, produk/barang setengah jadi (Intermediate Goods) mengalami defisit dan mencapai sekitar US$5,4 miliar pada tahun 2017. Bahan kimia, barang logam, dan aluminium (termasuk besi - baja), pupuk, plastik, dan barang setengah jadi untuk sektor tekstil juga memberikan tekanan pada neraca perdagangan. Ada beberapa sektor manufaktur utama di Indonesia juga yang sangat bergantung pada barang setengah jadi dari luar negeri. 

Sampai sekarang jenis produk yang paling mendukung surplus perdagangan di Indonesia adalah Consumer Goods dan Raw Materias. Surplus Terbesar di Indonesia terjadi pada Consumer Goods yaitu US$26 miliar termasuk antara lain alas kaki, pearls (perhiasan), pakaian, dan furniture. Raw Materials juga memberikan surplus besar yaitu US$16 miliar terutama antara lain dari batubara, tembaga, nikel, palm Oil. Namun, ekspor bahan mentah turun lebih dari 50% dari tahun 2010 hingga 2017, karena harga komoditas yang jatuh. Dalam barang-barang setengah jadi, Indonesia telah mengembangkan beberapa sektor terbaik antara lain pada bijih, kayu, karet, kertas, barang kimia, mutiara, timah, dan serat stapel. Kebijakan untuk meningkatkan nilai tambah di dalam sektor nikel, tembaga, aluminium, baja dan barang lainnya juga mendukung ekspor barang dengan nilai tambah lebih besar di bawah barang setengah jadi yang memberi surplus sekitar US$17 miliar.


Faktor lain yang memberikan perspektif lebih tepat tentang apa yang terjadi dengan perdagangan di Indonesia adalah hubungan dengan mitra dagang utama. Sejak dua dekade terakhir, Indonesia telah menandatangani beberapa perjanjian perdagangan internasional. Saat ini, Indonesia memiliki perjanjian perdagangan dengan lebih dari 17 negara yang telah berlaku dan lebih dari 20 perjanjian yang sedang dipelajari atau akan segera diratifikasi. Di antara perjanjian yang ditandatangani, Indonesia meningkatkan neraca perdagangan barang dengan India (surplus lebih dari US$10 miliar), Amerika Serikat (US$10 miliar), Filipina (US$5,7 miliar, Pakistan (US$2 miliar), Hong Kong, Chile, Belanda, Swiss, Kamboja, Brunei, dan Myanmar. Sedangkan dengan negara-negara lain neraca perdagangan Indonesia juga telah membaik, namun keseimbangan tetap negatif pada negara Selandia Baru, Singapura, dan Thailand.Namun dengan negara mitra lainnya, Indonesia memperburuk posisi komersialnya seperti dengan China yang defisit US$ 11 miliar, Australia -US$4,5 miliar, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Laos, Vietnam, Iran, Jerman, dan Turki. Dengan Australia, ekspor turun 41%, sementara impor meningkat 72%. Dengan China, ekspor tumbuh 47%, namun impor naik lebih cepat (hampir 70%). 

Indonesia memperoleh surplus besar dengan Cina di dalam produk hewani dan nabati, pada bahan bakar, kayu, dan alas kaki, tetapi mengalami kerugian besar pada mesin, bahan kimia, tekstil, dan logam. Dengan Korea dan Jepang ekspor turun lebih dari 30% sejak 2007 menyebabkan penurunan yang signifikan dalam neraca perdagangan. Secara umum, perdagangan yang mungkin paling menguntungkan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sejak 2007 adalah dengan Amerika Serikat, India, Pakistan, negara-negara ASEAN, sebagian Eropa, dan dengan negara mitra baru yaitu Afrika, Timor Tengah, dan Amerika Latin sebagian besar meningkatkan neraca perdagangan. Indonesia telah mengubah orientasi ekspornya untuk menjadi eksportir produk dan bahan mentah, serta reorientasi ke pasar di negara-negara di Asia (Timur, Selatan, dan tenggara). 

Indonesia telah menjadi pemain regional yang lebih kuat, namun kehilangan sebagian dari pasar globalnya terhadap eksportir lain (Cina). Sangat memungkinkan bahwa orientasi yang berlebihan terhadap bahan baku menyebabkan Indonesia mengesampingkan peluang dalam produk manufaktur di mana pertumbuhan dipercepat dan lebih stabil. Orientasi yang berlebihan untuk memenuhi permintaan pasar bahan mentah dan produk menyebabkan Indonesia mengesampingkan peluang dalam produk manufaktur di mana pertumbuhan dipercepat dan lebih stabil. Di sektor teknologi komunikasi, transportasi, elektronik, dan permesinan, pembangunan Indonesia secara proporsional lebih rendah daripada negara-negara tetangga yaitu Asia. 

Pada dekade terakhir perdagangan internasional, Indonesia terlihat lebih dinamis dan lebih positif. Sementara sekitar 65% dari ekspor Indonesia yaitu 471 produk, telah menjadi tulang punggung ekspor sejak tahun 2005. Ada daftar panjang dari produk baru yang telah memperoleh daya saing dan kini berkontribusi dengan lebih dari 20% dari ekspor Indonesia yaitu sekitar 250 produk. Persaingan besar juga telah menghasilkan kerugian sekitar 400 produk kehilangan daya saing. Namun, nilai ekspor produk baru telah menghasilkan lebih dari nilai kerugian. Indonesia tidak bisa membiarkan tekanan dari neraca perdagangan yang negatif dan harus mampu mencegah serta melihat peluang. Jika Anda melihat ukuran peluang komersial dari produk yang sekarang memiliki keunggulan komparatif di Indonesia, hanya Jepang, Cina, Australia, Selandia Baru, India dan Hong Kong yang mengimpor lebih dari US$400 miliar produk-produk di mana Indonesia yang kompetitif. Berarti Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan pasar itu dengan produk yang sekarang sudah unggul. Sedangkan negara-negara ASEAN, mengimpor US$30 miliar lagi dari produk-produk yang sama. 


Aspek lain yang patut dipertimbangkan adalah dampak ekspor terhadap kesejahteraan. Salah satu indikator yang dapat memberikan beberapa sinyal manfaat adalah distribusi pendapatan di antara pemain di pasar (produsen). Ada dua aspek dalam ekspor Indonesia yang menarik untuk dicatat. Yang pertama adalah persentase nilai tambah yang diterima pekerja dari produk ekspor meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2011 (data terakhir), untuk setiap dolar yang diekspor, US$ 0,33 sen berhubungan dengan pendapatan pekerja, dengan US$0,275 untuk pekerja tanpa keterampilan (unskilled workers). Pada tahun 1995, pekerja hanya menerima 21% dari nilai ekspor. Indikator kedua adalah partisipasi tidak langsung dalam ekspor, khususnya bagi UKM. Pada tahun 2011 perusahaan UKM berkontribusi dengan sekitar 18% dari nilai ekspor. Namun, dengan berpartisipasi secara tidak langsung (memasok bahan untuk eksportir) perusahaan UKM meningkatkan ekspor mereka ke angka yang lebih dari 23%.


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam tujuh tahun terakhir, "kue" ekspor Indonesia hampir tiga kali lebih besar, memiliki "irisan" yang lebih besar untuk para pekerja dan UKM, dan termasuk "rasa" baru, yaitu rasa Asia dengan rasa lebih alami dengan bahan yang tidak banyak diproses.


 






                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              Reza Faizal Daradjat







Referensi :
Miguel Esquivias

No comments:

Post a Comment