Thursday, June 19, 2014

Pembatalan Perjanjian Perdagangan : "Apakah Dapat Dilakukan ??"




Pemerintah sudah cukup banyak masuk dan ikut dalam perjanjian perdagangan internasional. Tahun 1994, pemerintah ikut mengesahkan perjanjian WTO. Tahun 2007, pemerintah mengesahkan Piagam ASEAN yang menyepakati pada akhir 2015 Masyarakat Ekonomi ASEAN berdiri. Apabila kemudian ternyata perjanjian itu merugikan kepentingan nasional, apa yang dapat kita lakukan?

Jawabannya termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. UU ini disahkan pada Maret 2014.

Menurut Pasal 85 UU Perdagangan, pemerintah dengan persetujuan DPR dapat meninjau kembali dan membatalkan perjanjian perdagangan internasional yang persetujuannya dilakukan dengan UU. Pemerintah mengambil langkah ini apabila perjanjian perdagangan merugikan kepentingan nasional.

Pemerintah dapat pula membatalkan perjanjian perdagangan internasional yang dilakukan dengan peraturan presiden.

Apa yang dimaksud dengan ”pembatalan” dan ”kepentingan nasional”? Penjelasan Pasal 85 tidak menjelaskannya. Penjelasan pasal ini hanya menyatakan cukup jelas. Kata ”pembatalan” merupakan pernyataan yang menyatakan suatu hubungan hukum, misalnya perjanjian, menjadi tidak berlaku.

Arti kata ”kepentingan nasional” dapat kita temukan dalam UU No 24/2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 18 UU ini menyatakan, pengakhiran perjanjian internasional dapat dilakukan apabila antara lain terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Penjelasan Pasal 18 UU Perjanjian Internasional mengemukakan, kepentingan nasional adalah kepentingan umum, perlindungan subyek hukum RI, dan yurisdiksi kedaulatan RI. Arti kepentingan umum, perlindungan subyek hukum dan yurisdiksi kedaulatan RI adalah rumusan yang luas. Keluasan pengertian kepentingan nasional menurut penulis seyogianya tidak digunakan secara bebas sebagai alasan untuk pengakhiran atau pembatalan perjanjian. Memang pembatalan perjanjian sudah menjadi norma dalam UU kita. Akan tetapi, pembatalan perlu pertimbangan yang mendalam.

Pembatalan suatu perjanjian internasional, termasuk di bidang perdagangan internasional, perlu dilakukan dengan hati-hati. Masalahnya, pembatalan perjanjian perdagangan internasional terkait dengan kepentingan perdagangan (masyarakat) internasional secara luas, yaitu negara-negara lain yang juga terikat pada perjanjian.

Prinsip Perjanjian

Sebelum pembatalan perjanjian ini ditempuh di masa datang, perlu dipertimbangkan pentingnya prinsip perjanjian. Prinsip pengaturan mengenai perjanjian internasional diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969.


Ada tiga prinsip utama yang menegaskan kekuatan mengikat perjanjian yang telah disepakati oleh suatu negara. Pertama, prinsip kesepakatan. Prinsip ini menegaskan bahwa dalam membuat suatu perjanjian internasional harus didasarkan pada kesepakatan (Mukadimah Konvensi Wina 1969). Kesepakatan ini tidak boleh dipengaruhi atau ditekan oleh pihak lain.

Kedua, prinsip pacta sunt servanda. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu perjanjian yang sudah berlaku mengikat para pihak. Ketiga, prinsip yang mensyaratkan para pihak harus melaksanakan perjanjian dengan itikad baik (Mukadimah dan Pasal 26 Konvensi Wina).

Keempat, suatu negara tidak dapat menggunakan alasan hukum nasionalnya untuk tidak melaksanakan suatu perjanjian (Pasal 26 Konvensi Wina).

Implikasi Pembatalan

Pembatalan perjanjian internasional menurut hukum internasional tidaklah dilarang sepanjang prinsip-prinsip perjanjian di atas, terutama prinsip kesepakatan, terpenuhi. Prinsip kesepakatan bebas itu mensyaratkan kesepakatan para pihaklah yang membuat perjanjian. Termasuk di dalamnya adalah kesepakatan para pihak pula yang (akan) membatalkannya.


Prinsip kesepakatan ini mensyaratkan kesepakatan bersama. Bukan hanya kesepakatan suatu pihak. Suatu negara karena kepentingan nasional, kemudian menyatakan suatu perjanjian internasional menjadi batal, adalah tindakan yang tidak mengubah atau membatalkan status perjanjian internasional.

Kemungkinan yang dapat terjadi adalah pengakhiran perjanjian. Ini pun hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan bersama. Perjanjian disahkan dengan kesepakatan bersama. Konsekuensinya, pengakhiran perjanjian juga dilakukan dengan kesepakatan bersama.

Jika pengakhiran tidak bisa, misalnya kesepakatan tidak tercapai, langkah yang dapat dilakukan adalah pengunduran diri dari perjanjian. Tetapi, langkah ini tidak terlepas dari adanya keberatan dari negara lain bila kepentingannya ternyata dirugikan.

Alternatif

Langkah yang lebih simpatik tampaknya adalah, pertama, peninjauan kembali. Peninjauan kembali dalam arti renegosiasi perjanjian dengan pihak lain apabila misalnya perjanjian merugikan kepentingan nasional.

Renegosiasi lebih simpatik karena kita menunjukkan penghormatan terhadap prinsip perjanjian. Renegosiasi mencerminkan prinsip kesepakatan bersama.


Kedua, langkah lainnya adalah sikap antisipatif terhadap perjanjian. Antisipatif dalam arti langkah kehati-hatian terhadap perjanjian. Antisipatif mensyaratkan sebelum masuk atau ikut dalam perjanjian perlu terlebih dahulu kita mengkaji untung rugi perjanjian dagang itu.

Ada beberapa cara mengkaji apakah suatu peraturan perundang-undangan akan merugikan secara ekonomi atau tidak. Contohnya adalah Regulatory Impact Assessments (RIAs). Prinsip RIAs memberikan sinyal langkah-langkah apa yang perlu dilakukan sebelum menyetujui atau mengesahkan suatu peraturan perundang-undangan. RIAs relevan untuk juga dipakai buat menguji perjanjian perdagangan internasional karena perjanjian perdagangan adalah juga peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengikat negara-negara di dunia yang mengikatkan dirinya.



  
 Reza Faizal Daradjat




Referensi :
Huala Adolf - Guru Besar FH UNPAD

Monday, May 12, 2014

Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) Masih Terhambat FTA

Negosiasi Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP terganjal belum adanya perjanjian perdagangan bebas di antara enam negara mitra Asean. Hanya Australia dan Selandia Baru yang sejauh ini sudah menjalin free trade agreement (FTA) dengan China. Sementara itu, India, Korea Selatan dan Jepang, belum menjalin FTA satu sama lain. Dari data yang saya miliki masalah itulah yang membuat pembahasan tentang modalitas atau hal-hal yang akan dirundingkan menjadi berlarut, sekalipun telah dibahas dalam empat putaran negosiasi. Kalau untuk Asean, Indonesia sudah mapping up karena sudah punya Asean Plus One. Jadi, dengan India berapa, dengan China berapa, Korea berapa, sehingga kita bisa lihat rata-rata. Tapi, di antara partner ini kan tidak ada FTA.
RCEP yang mencakup 10 negara anggota Asean dan juga China, Korsel, Jepang, India, Australia, dan Selandia Baru, akan mengintegrasikan seluruh perjanjian perdagangan bebas Asean ke dalam satu skema. Integrasi itu akan mengonsolidasikan sepertiga PDB dunia setara US$21,2 triliun pada 2012, dengan total perdagangan US$740,5 miliar.
Asean, tengah mengarahkan agar 16 negara yang akan tergabung dalam RCEP segera menemukan dan mengajukan modalitas dalam mekanisme single schedule. Mekanisme itu memungkinkan pembahasan langsung komitmen umum Asean dan partner tanpa melalui negosiasi bilateral di antara para partner.
RCEP nantinya akan memberikan perhatian lebih kepada usaha kecil dan menengah. Hal itulah yang membedakan RCEP dengan perjanjian lainnya, misalnya Trans Pacific Partnership (TPP). RCEP diperkirakan mendatangkan tambahan sekitar US$644 miliar pada 2025 setara 0,6% dari PDB dunia karena aliran deras barang, jasa, investasi dan tenaga kerja di antara partisipan. Dalam perkembangan lain, Indonesia mendesakkan usulan untuk melebur International Tripartite Rubber Council (ITRC) ke dalam satu wadah kerja sama perdagangan komoditas karet baru berbasis kawasan, bernama Asean Rubber Committee/Cooperation. Selama ini, produsen karet terbesar di dunia didominasi oleh Thailand, Indonesia, dan Malaysia yang tergabung di dalam ITRC. Namun, dewasa ini Vietnam telah menggeser posisi Malaysia, serta para pemain baru dari Indochina juga mulai memperbesar peran mereka.

  
 Reza Faizal Daradjat





Peninggalan Terakhir SBY Untuk ASEAN

Konferensi Tingkat Tinggi Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau KTT Asean di Myanmar menjadi ajang terakhir bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di forum internasional tertinggi di Asia Tenggara.
Ini karena Presiden SBY akan mengakhiri jabatan periode kedua pada Oktober tahun ini, karena sudah tidak dapat dipilih kembali sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019.
Sebagai ajang perpisahan bagi Presiden SBY, banyak pujian diterima oleh Kepala Negara dalam KTT ke-24 Asean itu.
Selama 10 tahun kepemimpinan Presiden SBY di Indonesia, imbas demokratisasi telah menjalar pula ke Asean yang kini dianggap sebagai salah satu kawasan yang semakin demokratis, meski tantangannyatidaklah mudah.
Buah dari demokrasi telah memberikan landasan yang lebih kokoh bagi stabilitas politik, yang juga telah memberi kontribusi penting bagi penguatan stabilitas ekonomi.
Kelas menengah terus tumbuh, meski tidak dipungkiri terdapat kesenjangan yang perlu terus diatasi dengan kebijakan ekonomi yang lebih mendorong pada pemerataan kesejahteraan baik secara sektoral, spasial, maupun demografis.
Meski masih terdapat sejumlah catatan dan tantangan semacam itu, tak bisa dipungkiri demokratisasi telah memberi kontribusi penting terhadap peningkatan harkat dan nilai kebangsaan bagi Indonesia.
Oleh karena itu, dalam KTT ke-24 Asean di Myanmar kali ini, Presiden SBY menuai banyak pujian. Para Kepala Negara mengucapkan terimakasih kepada Presiden SBY yang dianggap telah memberikan kontribusi penting bagi demokratisasi di kawasan.
Ruang demokratisasi, sebagaimana disebutkan oleh Presiden Myanmar U Thein Sein, telah berhasil dikembangkan oleh Presiden SBY, yang berimbas pada penigkatan pertumbuhan, stabilitas dan kesejahteraan di Indonesia dan Asean.
Ucapan terimakasih juga disampaikan oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, seraya menyebutkan bahwa Presiden SBY telah tak kenal lelah membangun masyarakat Asean dalam 10 tahun kepemimpinannya.
Pun Presiden Filipina Benigno Aquino menilai Presiden SBY tidak hanya ‘saudara tetapi juga paman’ bagi negara anggota Asean serta ‘sahabat sejati’ Filipina.
Penilaian tiga Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di Asean itu tentu membanggakan dan menjadi legacy yang penting bagi Presiden SBY.
Peran itu memang telah dimainkan dengan sangat baik oleh para pemimpin Asean yang saling menghormati kepentingan satu negara dengan negara yang lain, tetapi juga saling membantu mencari jalan keluar manakala terjadi persoalan yang menimpa salah satu negara di kawasan.
Namun demikian, aneka pujian itu bukan serta merta membuat Asean terlena, terlebih bagi Indonesia. Tantangan ke depan tidaklah mudah, selaras dengan perkembangan ekonomi dan geopolitik global yang semakin dinamis sejalan dengan kenaikan pe ran China, India dan menurunnya peranan Eropa dan Amerika serta Jepang dalam perekonomian global.
Dalam relasi intra-Asean sendiri, tantangan di depan mata adalah pelaksanaan Asean Economic Community pada akhir 2015 mendatang, yang menurut Presiden SBY buka sekadar soal ekonomi tetapi juga soal sosial dan politik.
Maka, kita penuh harap agar Presiden SBY dapat melengkapi legacynya untuk Asean, dan terlebih untuk kepentingan Indonesia, agar pelaksanaan AEC 2015 atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 itu, memberikan benefit ekonomi dan sosial yang lebih besar; tidak hanya untuk Asean tetapi dan terutama untuk Indonesia.
Dalam konteks itulah, harian ini berharap, KTT ke-24 Asean di Myanmar, yang merupakan KTT terakhir dengan keikutsertaan Presiden SBY, dapat memberikan acuan atau guidance yang lebih jelas bagi pemantapan peta jalan MEA yang lebih jelas dalam konteks geopolitik global itu.
MEA 2015 selayaknya dapat dijadikan sebagai alat strategis bagi komunitas Asean untuk memperoleh manfaat ekonomi dan sosial yang lebih besar dalam konteks dinamika ekonomi global tersebut.
Kita berharap Presiden SBY dalam kesertaan terakhirnya pada KTT Asean itu, dapat tetap memberikan kontribusinya, sebagai warisan penting dan strategis tidak hanya bagi kepentingan kawasan, tetapi juga bagi kepentingan nasional Indonesia.
  
 Reza Faizal Daradjat




Referensi :
Dari Berbagai Sumber - Diolah

Monday, February 17, 2014

Sekilas Tentang Kode Barang HS (Harmonized System)





Klasifikasi barang adalah suatu daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis dengan tujuan untuk mempermudah pentarifan transaksi perdagangan, pengangkutan dan statistik. Berdasarkan pasal 14 ayat 2 Undang-undang Kepabenan Indonesia Nomor 10 tahun 1995, penetapan klasifikasi barang diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. Pada saat ini system pengklasifikasian barang di Indonesia didasarkan pada Harmonized System dan dituangkan dalam bentuk suatu daftar tarif yang kita kenal dengan sebutan Buku Tarif Bea Masuk Indonesia.

Sejarah Sistem Klasifikasi di Indonesia

Sebelum diberlakukannya Harmonized System, Indonesia telah menggunakan beberapa sistem klasifikasi untuk barang impor, yaitu :

a.    Sistem Jenewa (Geneve Nomenclature), yang berlaku sejak kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan 31 Desember 1972.

b.    Sistem Brussel (Brussel Tariff Nomenclature atau BTN), mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1973 sampai dengan 30 Juni 1975.

c.    Sistem Brussel Edisi 1975 (BTN 1975). Penetapan tarif ini merupakan penyempurnaan dari penetapan tarif sebelumnya dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1975 sampai dengan 30 september 1980.

d.   Sistem Customs Cooperation Council (CCCN). Pada dasarnya system pentarifan ini sama dengan sistem sebelumnya, hanya pada sistem CCCN ini terdapat penyempurnaan sistem penomoran pada sub-pos dari dua digit menjadi tiga digit atau semula 6 digit menjadi 7 digit. Sistem CCCN ini mulai diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1980 sampai dengan 31 Maret 1985.

e.    Sistem CCCN Edisi 1985 (CCCN 1985). Sistem ini merupakan penyempurnaan dari sistem CCCN sebelumnya dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 April 1987 sampai dengan 31 desember 1988.

f.     Sistem Harmonisasi (Harmonized System). Sistem ini diterapkan di Indonesia berdasarkan PP No. 26 tahun 1988 dan diwujudkan dalam bentuk Buku Tarif Bea Masuk Indonesia 1989 dan dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1989.

Mengapa HS ?

Sejak tahun 1970, Customs Cooperation Council (CCC) yang sekarang dikenal dengan nama World Customs Organisation (Organisasi Pabean Dunia) telah membentuk suatu kelompok studi yang berusaha untuk menciptakan suatu nomenklatur klasifikasi barang yang tidak semata-mata untuk keperluan pabean, tetapi juga digunakan untuk kepentingan lain seperti statistik, pengangkutan, dan negosiasi perdagangan.

Pada akhir tahun 1986, kelompok studi tersebut berhasil menyusun suatu nomenklatur (daftar klasifikasi barang berdasarkan kelompok-kelompok) yang dinamakan Harmonized Commodity Description and Coding System atau lebih dikenal dengan sebutan Harmonized System (HS). Untuk memberikan kekuatan hukum yang pasti, nomenklatur tersebut disahkan dalam suatu konvensi yang dikenal dengan nama Konvensi HS.

Pada awalnya, konvensi HS ditandatangani oleh 70 negara yang sebagian besar adalah negara Eropa. Namun sekarang hampir seluruh negara di dunia telah meratifikasi konvensi ini, termasuk Indonesia yang telah meratifikasi konvensi HS dengan Keppres Nomor 35 tahun 1993. Meskipun baru meratifikasi pada tahun 1993, sebenarnya Indonesia telah menggunakan BTBMI berdasarkan HS sejak tanggal 1 Januari 1989.




Tujuan Harmonized System

Adanya perbedaan sistem klasifikasi tarif antara negara di dunia, mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam mengantisipasi kemajuan teknologi, perkembangan masyarakat industri dan pola perdagangan Internasional. Menyadari hal yang demikian WCO pada tanggal 14 Juni 1983 meluncurkan HS yang mulai berlaku secara internasional pada tanggal 1 Januari 1988, dengan tujuan :

a.    Memberikan keseragaman dalam daftar penggolongan barang yang dibuat secara sistematis, untuk penetapan Tarif Pabean secara mendunia.

b.    Memudahkan pengumpulan, pembuatan dan analisis Statistik perdagangan dunia.

c.    Memberikan Sistem Internasional yang resmi untuk pemberian Kode, Penjelasan dan penggolongan barang untuk tujuan perdagangan seperti tariff pengangkutan, keperluan pengangkutan, dokumentasi dan sebagainya.

d.   Memperbaharui sistem klasifikasi barang sebelumnya, untuk memberikan perhatian kepada perkembangan teknologi dan masyarakat industri serta pola perdagangan Internasional.

Mengapa HS dijadikan dasar klasifikasi secara internasional? Ada beberapa keuntungan yang didapat setiap negara yang mengadopsi HS sebagai pedoman klasifikasi barang, yaitu:

1.   HS adalah pedoman klasifikasi yang sistematik untuk seluruh barang yang diperdagangkan secara internasional.

2.   HS menggunakan dasar yang seragam untuk keperluan pentarifan secara internasional.

3.   Menggunakan “bahasa pabean” sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh importir, eksportir, produsen, pengangkut, dan aparat bea dan cukai.

4.   Sederhana dan memberikan kepastian dalam hal aplikasi dan interpretasi yang benar dan sama untuk keperluan negosiasi.

5.   Merupakan kumpulan data yang seragam secara internasional sehingga dapat digunakan untuk mendukung analisis dan statistik perdagangan internasional.

HS telah dibuat sedemikian rupa sehingga standard klasifikasi barang dan sistem kode penomoran barang dapat dijadikan acuan untuk berbagai kebutuhan oleh berbagai lembaga internasional yang berkaitan dengan perdagangan, misalnya:
·         World Customs Organization (WCO).
·         The International Chamber or Shipping (ICS).
·         The International Air Transport Association (IATA).
·         The International Union Railway (IUR).
·         The Standard International Trade Classificatioan (SITC)



Publikasi Pelengkap HS

Harmonized System mempunyai beberapa publikasi pelengkap yang digunakan untuk lebih mempermudah klasifikasi barang. Publikasi-publikasi tersebut juga diterbitkan oleh WCO. Publikasi dimaksud adalah:

a.   The Explanatory Notes to the Harmonized System (EN)

Explanatory Notes bukan merupakan bagian yang integral dari HS, namun sebagaimana disetujui WCO, explanatory notes merupakan interpretasi resmi (official interpretation) dari HS pada level internasional dan merupakan pelengkap yang sangat penting dari HS.

Explanatory Notes adalah referensi yang sangat diperlukan untuk mendapatkan interpretasi yang benar dari HS. Karena pentingnya Explanatory Notes ini, sebagian negara anggota WCO mensahkannya sebagai dokumen yang berkekuatan hukum

Seiring perkembangan teknologi, Explanatory Notes juga mengalami perubahan (amandemen) untuk menyesuaikan isinya dengan struktur HS. Untuk itu membaca Explanatory Notes harus selalu disesuaikan dengan konteksnya dalam HS.

Explanatory Notes yang digunakan saat ini adalah edisi kedua (tahun 1996) yang terdiri dari empat volume, yaitu Vol. 1 (Bab 1 - 29), Volume 2 (Bab 30- 63), Volume 3 (Bab 64 - 84), dan Volume 4 (Bab 85 - 97).



b.   The Alphabetical Index

Untuk mempermudah mengklasifikasikan suatu barang pada pos-pos atau sub-sub pos dalam nomenklatur HS atau Explanatory Notes, WCO juga menerbitkan buku indeks yang dikenal dengan nama the Alphabetical Index. Alphabetical Index terdiri dari dua volume, yaitu Volume I (A - L) dan Volume II (M - Z).

c.    Publikasi lain

Publikasi lain yang merupakan pelengkap HS adalah the Compendium of Classification Opinions, the Harmonized System Commodity Data Base (dalam bentuk CD-ROM), Dispute Settled Classification Opinion, the Training Modules, dan Correlation Tables.

Sistem Pengkodean

Harmonized System mempunyai dua karakteristik yang sangat mendasar, yaitu:

a.   Multipurpose nomenclature
HS yang mempunyai 6 digit penggolongan, dirancang tidak hanya untuk keperluan kepabeanan, namun juga dipergunakan secara internasional dalam bidang lain seperti negosiasi perdagangan, pengangkutan, statistik, dan sebagainya. Masing-masing negara penandatangan konvensi (contracting party) dapat mengembangkan penggolongan 6-digit tersebut menjadi kelompok yang lebih spesifik sesuai dengan kebijaksanaan ekonomi dan industrinya. Dengan tetap berdasar kepada HS 6-digit, semua negara mempunyai kesatuan persepsi tentang pengklasifikasian suatu barang.


b.   Structured nomenclature
HS adalah nomenklatur yang terdiri dari 21 Bagian, 96 Bab (+ Bab 77), dan 1.241 pos. HS yang tersusun dari pos dan sub-pos, bersama dengan Ketentuan Umum Menginterpretasi, Catatan Bagian, Catatan Bab, dan Catatan Sub-Pos, merupakan pedoman mengklasifikasi barang yang sistematik dan seragam.

Ada tiga Bab yang belum digunakan dalam HS yang ada saat ini, yaitu Bab 77, 98, dan 99. Bab 77 dipersiapkan untuk keperluan di masa mendatang, sedangkan Bab 98 dan 99 digunakan untuk keperluan khusus bagi masing-masing contracting party, misalnya untuk barang pos atau peralatan pelayaran. Indonesia juga menggunakan Bab 98 untuk keperluan ekspor barang tertentu yang pada bulan April 1999 dicabut kembali.

Seperti telah disinggung sebelumnya, Harmonized System mempunyai tiga bagian utama atau integral, yaitu:

1.   Ketentuan Umum Untuk Menginterpretasi Harmonized System (General Rules for the Interpretation of the HS). Ketentuan Umum Menginterpretasi Harmonized System (KUM HS) merupakan bagian terpenting yang harus dipahami sebelum melangkah lebih jauh untuk meng klasifikasikan barang menggunakan HS. KUM HS berisi enam prinsip dasar yang harus dipatuhi dalam mengklasifikasi barang. Mengingat pentingnya memahami KUM HS, bagian ini akan dibahas tersendiri.

2.   Catatan Bagian, Catatan Bab, dan Catatan Sub-Pos.

3.   Pos (4-digit) dan Sub-pos (6-digit) yang disusun dengan sistematik. HS menggunakan kode nomor dalam mengklasifikasikan barang. Kode-kode nomor tersebut mencakup uraian barang yang tersusun secara sistematis. Sistem penomoran dalam HS terbagi menjadi Bab (2-digit), pos (4-digit), dan sub-pos (6- digit) dengan penjelasan sebagai berikut:

0 1 01 1 1
__ Bab (Chapter) 1
_______ Pos (Heading) 01. 01
______________ Sub-pos (Sub-heading) 0101. 11

·         Dua angka pertama untuk menunjukkan pada bab mana barang itu diklasifikasikan. Pada contoh di atas, barang dimaksud diklasifikasikan pada Bab 1.

·         Empat angka pertama menunjukkan Pos atau Heading dalam setiap bab. Pada contoh di atas, barang dimaksud diklasifikasikan pada pos 01.01.

·         Enam angka pertama menunjukkan Sub Pos dalam setiap Pos. Pada contoh di atas, barang dimaksud diklasifikasikan pada sub-pos 0101.11.


Untuk keperluan nasional, Indonesia menggunakan sistem penomoran 10 digit dalam BTBMI yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari sub-sub pos dalam HS. Penjelasan mengenai hal ini akan dibahas lebih rinci pada penjelasan berikutnya.


  
 Reza Faizal Daradjat




Referensi :
Kementerian Keuangan