Thursday, June 19, 2014

Pembatalan Perjanjian Perdagangan : "Apakah Dapat Dilakukan ??"




Pemerintah sudah cukup banyak masuk dan ikut dalam perjanjian perdagangan internasional. Tahun 1994, pemerintah ikut mengesahkan perjanjian WTO. Tahun 2007, pemerintah mengesahkan Piagam ASEAN yang menyepakati pada akhir 2015 Masyarakat Ekonomi ASEAN berdiri. Apabila kemudian ternyata perjanjian itu merugikan kepentingan nasional, apa yang dapat kita lakukan?

Jawabannya termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. UU ini disahkan pada Maret 2014.

Menurut Pasal 85 UU Perdagangan, pemerintah dengan persetujuan DPR dapat meninjau kembali dan membatalkan perjanjian perdagangan internasional yang persetujuannya dilakukan dengan UU. Pemerintah mengambil langkah ini apabila perjanjian perdagangan merugikan kepentingan nasional.

Pemerintah dapat pula membatalkan perjanjian perdagangan internasional yang dilakukan dengan peraturan presiden.

Apa yang dimaksud dengan ”pembatalan” dan ”kepentingan nasional”? Penjelasan Pasal 85 tidak menjelaskannya. Penjelasan pasal ini hanya menyatakan cukup jelas. Kata ”pembatalan” merupakan pernyataan yang menyatakan suatu hubungan hukum, misalnya perjanjian, menjadi tidak berlaku.

Arti kata ”kepentingan nasional” dapat kita temukan dalam UU No 24/2000 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 18 UU ini menyatakan, pengakhiran perjanjian internasional dapat dilakukan apabila antara lain terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Penjelasan Pasal 18 UU Perjanjian Internasional mengemukakan, kepentingan nasional adalah kepentingan umum, perlindungan subyek hukum RI, dan yurisdiksi kedaulatan RI. Arti kepentingan umum, perlindungan subyek hukum dan yurisdiksi kedaulatan RI adalah rumusan yang luas. Keluasan pengertian kepentingan nasional menurut penulis seyogianya tidak digunakan secara bebas sebagai alasan untuk pengakhiran atau pembatalan perjanjian. Memang pembatalan perjanjian sudah menjadi norma dalam UU kita. Akan tetapi, pembatalan perlu pertimbangan yang mendalam.

Pembatalan suatu perjanjian internasional, termasuk di bidang perdagangan internasional, perlu dilakukan dengan hati-hati. Masalahnya, pembatalan perjanjian perdagangan internasional terkait dengan kepentingan perdagangan (masyarakat) internasional secara luas, yaitu negara-negara lain yang juga terikat pada perjanjian.

Prinsip Perjanjian

Sebelum pembatalan perjanjian ini ditempuh di masa datang, perlu dipertimbangkan pentingnya prinsip perjanjian. Prinsip pengaturan mengenai perjanjian internasional diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969.


Ada tiga prinsip utama yang menegaskan kekuatan mengikat perjanjian yang telah disepakati oleh suatu negara. Pertama, prinsip kesepakatan. Prinsip ini menegaskan bahwa dalam membuat suatu perjanjian internasional harus didasarkan pada kesepakatan (Mukadimah Konvensi Wina 1969). Kesepakatan ini tidak boleh dipengaruhi atau ditekan oleh pihak lain.

Kedua, prinsip pacta sunt servanda. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu perjanjian yang sudah berlaku mengikat para pihak. Ketiga, prinsip yang mensyaratkan para pihak harus melaksanakan perjanjian dengan itikad baik (Mukadimah dan Pasal 26 Konvensi Wina).

Keempat, suatu negara tidak dapat menggunakan alasan hukum nasionalnya untuk tidak melaksanakan suatu perjanjian (Pasal 26 Konvensi Wina).

Implikasi Pembatalan

Pembatalan perjanjian internasional menurut hukum internasional tidaklah dilarang sepanjang prinsip-prinsip perjanjian di atas, terutama prinsip kesepakatan, terpenuhi. Prinsip kesepakatan bebas itu mensyaratkan kesepakatan para pihaklah yang membuat perjanjian. Termasuk di dalamnya adalah kesepakatan para pihak pula yang (akan) membatalkannya.


Prinsip kesepakatan ini mensyaratkan kesepakatan bersama. Bukan hanya kesepakatan suatu pihak. Suatu negara karena kepentingan nasional, kemudian menyatakan suatu perjanjian internasional menjadi batal, adalah tindakan yang tidak mengubah atau membatalkan status perjanjian internasional.

Kemungkinan yang dapat terjadi adalah pengakhiran perjanjian. Ini pun hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan bersama. Perjanjian disahkan dengan kesepakatan bersama. Konsekuensinya, pengakhiran perjanjian juga dilakukan dengan kesepakatan bersama.

Jika pengakhiran tidak bisa, misalnya kesepakatan tidak tercapai, langkah yang dapat dilakukan adalah pengunduran diri dari perjanjian. Tetapi, langkah ini tidak terlepas dari adanya keberatan dari negara lain bila kepentingannya ternyata dirugikan.

Alternatif

Langkah yang lebih simpatik tampaknya adalah, pertama, peninjauan kembali. Peninjauan kembali dalam arti renegosiasi perjanjian dengan pihak lain apabila misalnya perjanjian merugikan kepentingan nasional.

Renegosiasi lebih simpatik karena kita menunjukkan penghormatan terhadap prinsip perjanjian. Renegosiasi mencerminkan prinsip kesepakatan bersama.


Kedua, langkah lainnya adalah sikap antisipatif terhadap perjanjian. Antisipatif dalam arti langkah kehati-hatian terhadap perjanjian. Antisipatif mensyaratkan sebelum masuk atau ikut dalam perjanjian perlu terlebih dahulu kita mengkaji untung rugi perjanjian dagang itu.

Ada beberapa cara mengkaji apakah suatu peraturan perundang-undangan akan merugikan secara ekonomi atau tidak. Contohnya adalah Regulatory Impact Assessments (RIAs). Prinsip RIAs memberikan sinyal langkah-langkah apa yang perlu dilakukan sebelum menyetujui atau mengesahkan suatu peraturan perundang-undangan. RIAs relevan untuk juga dipakai buat menguji perjanjian perdagangan internasional karena perjanjian perdagangan adalah juga peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mengikat negara-negara di dunia yang mengikatkan dirinya.



  
 Reza Faizal Daradjat




Referensi :
Huala Adolf - Guru Besar FH UNPAD

No comments:

Post a Comment