Polemik impor beras berulang. Kali ini, pemicunya adalah penerbitan izin impor beras oleh Kementerian Perdagangan, melawan keyakinan Kementerian Pertanian dan Perum Bulog bahwa pasokan beras nasional mencukupi.
Secara teori, suatu negara melakukan impor saat produksinya tidak menutup kebutuhan. Sebab, tanpa impor, di tengah permintaan yang melebihi pasokan, akan membuat harga melambung tinggi. Karenanya, peran data yang menggambarkan pasokan dan permintaan menjadi kunci bukan?
Selama ini data produksi beras di Indonesia diperoleh dengan metode pandangan mata. Petugas Dinas Pertanian masing-masing daerah akan datang ke sawah, lalu mencatat luas tanam dan luas panen di petak sawah. Jadi, pandangan mata saja lalu dikira-kira. Kemudian, data dilaporkan berjenjang dari petugas di tingkat bawah, tengah, sampai ke atas.
Setelah itu, produktivitasnya dihitung dengan metode 'ubinan.' Caranya, petugas akan menghitung produksi padi saat panen dari satu petak berukuran 2,5 meter dikali 2,5 meter pada satu lahan. Setelah padi diambil, padi ditimbang dan dikonversi menjadi produksi Gabah Kering Panen per hektare (ha) dan dikonversi lebih lanjut menjadi Gabah Kering Giling.
Padahal, teknik ini memiliki banyak kelemahan. Pertama, metode pandangan mata saat bergantung dari kondisi petugas saat melakukan survei. Kedua, pengumpulan data berjenjang dari tingkat terbawah hingga ke kementerian berisiko menimbulkan moral hazard. Tak cuma itu, metode ubinan juga memiliki kelemahan lantaran jarak tanam padi dan tingkat kemiringannya berbeda dalam satu lahan. Idealnya, hasil panen ditimbang.
Sekadar mengingatkan saja, tahun lalu, Kementerian Pertanian Amerika Serikat (USDA) pernah mengestimasi produksi beras di Indonesia. Hasilnya, disparitas produksi 28 persen lebih rendah dari perkiraan yang dibuat Kementerian Pertanian RI.
Tahun lalu, data Kementan melansir surplus beras 2017 mencapai 13,81 juta ton. Surplus itu dihitung dari jumlah produksi dikurangi total kebutuhan atau konsumsi beras nasional didasarkan jumlah penduduk dikalikan tingkat konsumsi per kapita.
Angka produksi padi 2017 mencapai 81,3 juta ton atawa setara 47,29 juta ton dengan pertumbuhan penduduk menjadi 261,89 juta dikalikan tingkat konsumsi 114,6 kilogram (kg), maka total konsumsinya mencapai 33,47 juta ton.
Sementara, metode yang digunakan USDA berbasis citra satelit untuk menghitung luas panen dan survei pasokan yang dimiliki pedagang dan pemerintah. Selain itu, USDA juga mempertimbangkan pergerakan harga. Sebab, logikanya, jika produksi melimpah, maka harga akan bergerak turun.
Sebenarnya harga jual beras di Indonesia cukup bagus jika mengacu Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS), yakni 10,47 persen pada periode 2014-2016. Artinya keuntungan yang didapat dari perantara hanya 10,47 persen dari harga jual.
Kendati demikian, harus diakui, harga beras dalam negeri masih melampaui harga di Thailand dan Vietnam. Maklumlah, persoalan beras nasional tidak cuma terkait data pasokan dan permintaan yang tak akurat, tetapi juga rantai distribusi yang panjang. Belum lagi, kehadiran Satuan Tugas (Satgas) Pangan yang dinilainya semakin membuat runyam tata niaga beras. Satgas Pangan disebut menggunakan asumsi produksi beras yang keliru.
Ujung-ujungnya, harga beras melesat, baik karena rantai distribusi yang panjang maupun dugaan mafia beras. Jangan heran, margin yang diperoleh perantara dari harga jual kian menggiurkan, yaitu mencapai 26,1 persen pada tahun lalu.
Wajar saja jika Kementan mengklaim produksi beras nasional surplus. Toh, Kementan memiliki kepentingan untuk menciptakan swasembada beras. Namun, saya sebagai penulis tidak pernah mempercayai data produksi yang dikeluarkan Kementerian Pertanian. Pun demikian, dari sisi konsumsi, ia melanjutkan seharusnya data tak perlu dipersoalkan, karena trennya menurun. Sebab, menggunakan asumsi 2,5 juta ton per bulan atau 30 juta ton per tahun pun masih relevan.
Kementan boleh saja mengklaim produksi beras surplus. Namun, kenyataan di lapangan berbeda, seperti harga beras tinggi dan menipisnya cadangan beras di gudang Bulog. Jangan heran, validitas data Kementan terus dipertanyakan.
BPS menyadari bahwa data beras di Tanah Air perlu perbaikan. Makanya, sejak 2015 lalu, BPS tak lagi merilis data produksi beras. Sebagai gantinya, BPS menggandeng Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk melakukan estimasi yang lebih obyektif. BPS tak lagi menggunakan estimasi pandangan mata dari data luas panen Kementan. Namun, BPS akan menggunakan metode Kerangka Sampel Area (KSA) dengan memanfaatkan citra satelit dan foto petugas di lapangan.
Area sawah yang diamati pun didasarkan data lahan baku sawah terkini dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Setiap bulan, petugas BPS akan terjun ke lapangan untuk mengobservasi fase tumbuh padi di 198 ribu petak sawah di seluruh Indonesia. Petugas akan memotret kondisi sawah dan mengirimkan data langsung ke server. Hasil foto itu nantinya akan digunakan untuk menghitung area luas panen.
Selanjutnya, data luas panen tersebut akan digunakan BPS untuk mengestimasi produksi dan produktivitas lahan per ha. Dengan demikian, BPS bisa memberikan estimasi produksi beras yang lebih objektif, sehingga dapat membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan pangan strategis.