Putaran negosiasi perjanjian perdagangan bebas antara
Indonesia dan Uni Eropa yang dinamai CEPA (Comprehensive Economic Partnership Agreement) akan bergulir
kembali. Kalangan
serikat buruh dan kelompok masyarakat sipil mengkritik negosiasi tersebut
karena dianggap tertutup kepada publik.
Melihat cakupan perjanjian ini sangat komprehensif,
berimplikasi luas terhadap masyarakat, dan sifat perjanjiannya tidak punya
batas waktu kapan berakhir (seperti klausul perjanjian dengan WTO, ASEAN,
NAFTA), sudah sepatutnya pemerintah melibatkan pihak-pihak yang dianggap
layak terkait untuk mengantisipasi dan memitigasi masalah di kemudian hari.
Dokumen CEPA yang tertuang dalam dokumen Scoping
Paper mencakup provisi umum yang meliputi, antara lain, tujuan, akses
pasar, fasilitas, kerja sama ekonomi, dan peningkatan kapasitas. Juga provisi
teknis yang meliputi, antara lain, perdagangan barang, perdagangan jasa,
investasi, pengadaan barang, hak kekayaan intelektual, kebijakan persaingan
usaha, dan lain-lain. Keseluruhannya akan berdampak sangat besar terhadap
perekonomian Indonesia.
Memang, dalam daftar mitra dagang Uni Eropa, Indonesia
masih mengalami surplus. Tahun 2015 Indonesia menempati peringkat ke-30 dari
seluruh mitra dagang mereka. Walau demikian, Indonesia masih tertinggal
dibandingkan Singapura, Thailand, Malaysia, ataupun Vietnam.
Perundingan CEPA nanti diprediksi berlangsung lancar
dengan dua alasan. Pertama, ketidakpastian blok ekonomi Kemitraan
Trans-Pasifik (TPP) dengan kebijakan baru Donald Trump keluar dari TPP. Kedua, negara-negara
ASEAN lain, seperti Vietnam, Filipina, dan Singapura, sudah lebih dulu
mengikat perjanjian dengan Uni Eropa sehingga dirasa kurang elok jika
Indonesia berada di luar arena.
Menguntungkan siapa?
Apa yang diharapkan Indonesia dari CEPA? Bukankah tanpa
CEPA Indonesia sudah beruntung lewat perdagangan bilateral dengan
negara-negara Uni Eropa? Bagaimana nanti kalau perjanjiannya malah mengurangi
ekspor kita? Blok ekonomi trans-regional yang sudah ada, seperti NAFTA, APEC,
ACFTA, dinilai malah merugikan Indonesia secara ekonomi. Industri Indonesia
masih dalam keadaan sakit atas dampak perjanjian bebas antara ASEAN dan China
dalam skema ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang membuat industri
kita terpuruk.
Laporan The World Employment and Social Outlook Tahun 2015
menemukan, dalam perdagangan bebas yang dimotori perusahaan jaringan pemasok
global (global supply chains), porsi terbesar yang diuntungkan oleh
"perdagangan bebas" adalah perusahaan multinasional dalam bentuk
peningkatan produktivitas yang lebih tinggi, tetapi tidak dalam hal kenaikan
upah. Perdagangan menciptakan dampak positif khususnya dalam memperbaiki akses
ke pasar, menurunkan harga barang impor, transfer teknologi, memperbaiki
pendapatan beberapa kelompok tertentu. Namun, dalam pasar kerja, studi
akademik menemukan penurunan kualitas pekerjaan dan ketimpangan pendapatan
melebar.
Perjanjian perdagangan bebas sering kali menemukan masalah
tentang kedaulatan bangsa, dengan adanya legislasi yang kontradiksi dengan
isi perjanjian (seperti larangan melindungi produk domestik), provisi atas
daftar negatif investasi, kesanggupan kapasitas pemerintah mengikuti program
kesinambungan lingkungan, khususnya mengikuti standar Uni Europa yang cukup
tinggi. Studi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang diterbitkan dalam
buku Assessment of Labour Provisions in Trade and Investment
Arrangements (ILO, 2016) menyimpulkan, manfaat yang diterima suatu
negara atas perdagangan bebas tak bisa mengompensasi mereka yang kehilangan
pendapatan dan pekerjaan akibat perdagangan bebas.
Perlu keterlibatan publik
Paradigma perdagangan bebas selalu hanya sebatas urusan
ekspor dan impor, tapi tidak ada kaitannya tentang perluasan lapangan kerja
dan perbaikan pekerjaan yang layak. Dari informasi yang beredar, beberapa isi perjanjian yang bisa membahayakan Indonesia di
antaranya (1) CEPA akan menghapus perundangan Indonesia tentang adanya
ketentuan menggunakan kandungan lokal (local content); (2) larangan
pembatasan impor dan ekspor, khususnya bahan mentah; (3) tidak ada keharusan
transfer teknologi; dan (4) penghapusan penggunaan tenaga kerja lokal. Yang
paling berat adalah dimungkinkannya mekanisme International Center for
Settlement of Investment Dispute (ICSID), yang memberikan kesempatan kepada
swasta menggugat pemerintah atas kebijakan domestik ke lembaga arbitrase
internasional.
Sementara di sisi lain, masyarakat Uni Eropa akan lebih
siap dengan perjanjian ini karena sejak lama Uni Eropa telah memiliki
mekanisme konsultasi permanen dengan serikat buruh dan publik, untuk
menengarai masalah ekonomi ketenagakerjaan. Untuk seluruh kawasan Eropa
ada wadah serikat buruh Eropa (ETUC) sebagai mitra konsultasi buat Uni Eropa.
Untuk tingkat perusahaan multinasional yang beroperasi di lebih dari dua
negara, ada keharusan membentuk European Work Council (EWCs). Ada juga badan
penasihat untuk negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD) bernama Trade Union Advisory Committee (TUAC). Ketiga
badan ini adalah tempat pemerintah dan pebisnis berdialog, berunding mencari
solusi masalah ketenagakerjaan. Pemerintah diharuskan mengonsultasikan semua
kebijakan ketenagakerjaan terhadap wadah tersebut. Mekanisme seperti
inilah yang belum ada di Asia dan Indonesia.
Sistem lain yang sudah lama eksis di Uni Eropa tapi belum
ada di Indonesia adalah adanya keharusan pemerintah melakukan kajian atau
penilaian dampak kebijakan tertentu terhadap hak asasi manusia dan
lingkungan. Uni Eropa memasuki meja perundingan CEPA dibekali dengan dokumen
itu.
Banyak pertanyaan publik yang perlu diperhatikan
pemerintah, misalnya apakah ada keleluasaan waktu kepada Indonesia untuk
mengikuti standar HAM dan lingkungan Uni Eropa? Bagaimana melindungi beberapa
sektor industri yang potensial terpuruk dengan CEPA, secara khusus industri
kelapa sawit, perkapalan, kayu, dan usaha kecil menengah (UKM).
Penting juga untuk dipastikan agar ada semacam constitutional
assessment terhadap isi perjanjian CEPA supaya jangan bertentangan
dengan isi UUD 1945, khususnya Pasal 33 dan 34. Jangan sampai sumber-sumber
ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai pihak asing.
Dari beberapa negara yang memiliki perjanjian dengan Uni
Eropa, untuk kawasan Asia hanya Korea Selatan yang berhasil menegosiasikan
perlunya dibentuk wadah konsultasi lintas negara yang disebut Cross-Boarder
Advisory Group, berisi representasi serikat buruh dan bertugas menjadi
penasihat kedua pemerintah dalam mengimplementasikan CEPA. Inilah setidaknya
yang perlu ditiru Indonesia.