Perekonomian Indonesia akan segera mengakhiri tahun 2016 dengan pertumbuhan 5 persen. Dalam situasi perekonomian global yang tak menentu, pencapaian ini termasuk optimal. Tahun depan, ada banyak tantangan sehingga pertumbuhan ekonomi mungkin cenderung mendatar.
Harga komoditas primer pada akhir 2016 mulai
mengarah ke level yang masuk akal. Pada Februari 2016, harga minyak jatuh ke
level yang tak terbayangkan, yakni 27 dollar AS per barrel (pada Juni 2014 di
atas 100 dollar AS). Akibatnya, harga produk substitusinya anjlok. Harga
batubara merosot ke 50 dollar AS per ton (pada 2011 masih di atas 100 dollar
AS). Harga batubara yang sangat rendah itu menghancurkan daya beli orang-
orang yang terkait dengan sektor ini.
Akibatnya, permintaan terhadap sejumlah produk
melemah, terutama pembelian mobil, sepeda motor, properti, bahkan produk
konsumen. Lesunya sektor energi tidak bisa diisolasi dan menular ke industri
lain.
Ketika mencapai puncak kejayaan pada
2010-2013, batubara berkontribusi signifikan pada akselerasi kredit bank.
Pertumbuhan kredit mencapai 24 persen-30 persen. Tahun ini, pertumbuhannya
sekitar 8 persen atau terendah sejak krisis 1998. Namun, pada Desember 2016,
tiba-tiba harga batubara melejit di atas 100 dollar AS per ton. Kenaikan
harga ini diragukan keberlanjutannya mengingat kenaikan harga minyak baru
sampai di kisaran 50 dollar AS per barrel. Kenaikan harga batubara tersebut
tidak proporsional terhadap kenaikan harga minyak.
Secara umum, harga komoditas mulai menuju
ekuilibrium baru yang lebih rasional. Harga minyak di atas 100 dollar AS akan
mematikan perekonomian, demikian juga harga di bawah 30 dollar AS yang tidak
memberi insentif bagi perekonomian. Karena itu, harus dicari keseimbangan
yang wajar dan berkelanjutan, yang kemungkinan ada di sekitar 50 dollar AS
per barrel.
Membaiknya harga minyak kali ini dipicu oleh
kesadaran produsen minyak besar untuk menurunkan produksinya. Ini adalah
sesuatu yang tak pernah terjadi selama ini. Arab Saudi bersedia memangkas 500.000 barrel
per hari, begitu juga Rusia. Mereka adalah produsen terbesar di dunia dengan
produksi di atas 10 juta barrel per hari. Ditambah negara lain yang bersedia
menurunkan produksi, pasokan minyak berkurang 1,5 juta barrel per hari.
Pasokan total minyak dunia 90 juta barrel per hari. Harga komoditas akan
ditentukan tingkat kedisiplinan produsen minyak mengendalikan suplai karena
akan berpengaruh pada kondisi fiskal.
Sentimen positif
Meski kondisi fiskal tertekan, Pemerintah
Indonesia tetap melanjutkan pembangunan infrastruktur yang kemudian
mengembuskan sentimen positif bagi pasar. Anggaran pemerintah untuk infrastruktur
Rp 330 triliun pada 2017 dan selama 5 tahun Rp 1.500 triliun. Target semua
kebutuhan infrastruktur (pemerintah, swasta, BUMN) adalah Rp 5.000 triliun
untuk 2014-2019. Angka ideal ini tak realistis karena setara 8 persen produk
domestik bruto (PDB). Proporsi belanja infrastruktur setinggi ini hanya bisa
dialokasikan oleh Tiongkok.
Brasil yang menirunya kedodoran karena defisit
fiskalnya menjadi terlalu besar, yakni 10 persen terhadap PDB. Akibatnya,
pemerintahnya tak kredibel di mata investor. Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati menyadari pentingnya kredibilitas dan keberlanjutan fiskal sehingga
mobilisasi belanja infrastruktur diturunkan menjadi Rp 4.000 triliun untuk
lima tahun. Target ini masih tinggi, tetapi lebih kredibel.
Program pengampunan pajak sejauh ini berhasil.
Namun, kinerja pada tahap kedua (Oktober-Desember) cenderung jauh melemah
karena puncak terjadi pada akhir tahap pertama dan pemerintah kendur
melakukan sosialisasi. Jika pemerintah berhasil mendorongnya hingga akhir program
Maret 2017, pengampunan pajak akan sangat membantu perekonomian.
Repatriasi akan berkontribusi pada kenaikan
cadangan devisa. Pemerintah menargetkan repatriasi Rp 1.000 triliun, tetapi
angka ini terlalu ambisius. Angka yang realistis sekitar separuhnya sehingga
akan ada tambahan cadangan devisa 30 miliar dollar AS-40 miliar dollar AS.
Cadangan devisa saat ini 110 miliar dollar AS. Kombinasi antara efek Donald
Trump yang menyebabkan menguatnya dollar AS dan indeks harga saham New York
(19.840), serta potensi kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed, dapat
diredam oleh arus masuk dana repatriasi.
Namun, semua fondasi itu bisa berantakan jika
kita tidak bisa mengelola stabilitas politik dengan baik. Jika situasi
belakangan ini tak tertangani, dampaknya bisa fatal. Sektor pariwisata,
misalnya, yang bisa menarik 10 juta wisatawan asing dalam setahun, paling
mudah dan cepat terimbas. Padahal, sektor ini ditargetkan menarik 20 juta
wisatawan mancanegara pada 2019 yang bisa menambah cadangan devisa 15-20
miliar dollar AS. Turki sudah merasakan terkoyaknya pariwisata oleh konflik
politik.
Tahun 2017 tidaklah mudah. Momentum
pertumbuhan ekonomi hendaknya dibebaskan dari instabilitas sosial-politik
karena akan menyebabkan kerja keras sektor perekonomian berujung pada
kesia-siaan belaka.