Monday, December 19, 2016

Momentum Perekonomian Yang Terganggu

Image result for economy growth

Perekonomian Indonesia akan segera mengakhiri tahun 2016 dengan pertumbuhan 5 persen. Dalam situasi perekonomian global yang tak menentu, pencapaian ini termasuk optimal. Tahun depan, ada banyak tantangan sehingga pertumbuhan ekonomi mungkin cenderung mendatar.

Harga komoditas primer pada akhir 2016 mulai mengarah ke level yang masuk akal. Pada Februari 2016, harga minyak jatuh ke level yang tak terbayangkan, yakni 27 dollar AS per barrel (pada Juni 2014 di atas 100 dollar AS). Akibatnya, harga produk substitusinya anjlok. Harga batubara merosot ke 50 dollar AS per ton (pada 2011 masih di atas 100 dollar AS). Harga batubara yang sangat rendah itu menghancurkan daya beli orang- orang yang terkait dengan sektor ini.

Akibatnya, permintaan terhadap sejumlah produk melemah, terutama pembelian mobil, sepeda motor, properti, bahkan produk konsumen. Lesunya sektor energi tidak bisa diisolasi dan menular ke industri lain.

Ketika mencapai puncak kejayaan pada 2010-2013, batubara berkontribusi signifikan pada akselerasi kredit bank. Pertumbuhan kredit mencapai 24 persen-30 persen. Tahun ini, pertumbuhannya sekitar 8 persen atau terendah sejak krisis 1998. Namun, pada Desember 2016, tiba-tiba harga batubara melejit di atas 100 dollar AS per ton. Kenaikan harga ini diragukan keberlanjutannya mengingat kenaikan harga minyak baru sampai di kisaran 50 dollar AS per barrel. Kenaikan harga batubara tersebut tidak proporsional terhadap kenaikan harga minyak.

Secara umum, harga komoditas mulai menuju ekuilibrium baru yang lebih rasional. Harga minyak di atas 100 dollar AS akan mematikan perekonomian, demikian juga harga di bawah 30 dollar AS yang tidak memberi insentif bagi perekonomian. Karena itu, harus dicari keseimbangan yang wajar dan berkelanjutan, yang kemungkinan ada di sekitar 50 dollar AS per barrel.

Membaiknya harga minyak kali ini dipicu oleh kesadaran produsen minyak besar untuk menurunkan produksinya. Ini adalah sesuatu yang tak pernah terjadi selama ini. Arab Saudi bersedia memangkas 500.000 barrel per hari, begitu juga Rusia. Mereka adalah produsen terbesar di dunia dengan produksi di atas 10 juta barrel per hari. Ditambah negara lain yang bersedia menurunkan produksi, pasokan minyak berkurang 1,5 juta barrel per hari. Pasokan total minyak dunia 90 juta barrel per hari. Harga komoditas akan ditentukan tingkat kedisiplinan produsen minyak mengendalikan suplai karena akan berpengaruh pada kondisi fiskal.


Image result for infrastructure

Sentimen positif
Meski kondisi fiskal tertekan, Pemerintah Indonesia tetap melanjutkan pembangunan infrastruktur yang kemudian mengembuskan sentimen positif bagi pasar. Anggaran pemerintah untuk infrastruktur Rp 330 triliun pada 2017 dan selama 5 tahun Rp 1.500 triliun. Target semua kebutuhan infrastruktur (pemerintah, swasta, BUMN) adalah Rp 5.000 triliun untuk 2014-2019. Angka ideal ini tak realistis karena setara 8 persen produk domestik bruto (PDB). Proporsi belanja infrastruktur setinggi ini hanya bisa dialokasikan oleh Tiongkok.

Brasil yang menirunya kedodoran karena defisit fiskalnya menjadi terlalu besar, yakni 10 persen terhadap PDB. Akibatnya, pemerintahnya tak kredibel di mata investor. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyadari pentingnya kredibilitas dan keberlanjutan fiskal sehingga mobilisasi belanja infrastruktur diturunkan menjadi Rp 4.000 triliun untuk lima tahun. Target ini masih tinggi, tetapi lebih kredibel.

Program pengampunan pajak sejauh ini berhasil. Namun, kinerja pada tahap kedua (Oktober-Desember) cenderung jauh melemah karena puncak terjadi pada akhir tahap pertama dan pemerintah kendur melakukan sosialisasi. Jika pemerintah berhasil mendorongnya hingga akhir program Maret 2017, pengampunan pajak akan sangat membantu perekonomian.

Repatriasi akan berkontribusi pada kenaikan cadangan devisa. Pemerintah menargetkan repatriasi Rp 1.000 triliun, tetapi angka ini terlalu ambisius. Angka yang realistis sekitar separuhnya sehingga akan ada tambahan cadangan devisa 30 miliar dollar AS-40 miliar dollar AS. Cadangan devisa saat ini 110 miliar dollar AS. Kombinasi antara efek Donald Trump yang menyebabkan menguatnya dollar AS dan indeks harga saham New York (19.840), serta potensi kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed, dapat diredam oleh arus masuk dana repatriasi.

Namun, semua fondasi itu bisa berantakan jika kita tidak bisa mengelola stabilitas politik dengan baik. Jika situasi belakangan ini tak tertangani, dampaknya bisa fatal. Sektor pariwisata, misalnya, yang bisa menarik 10 juta wisatawan asing dalam setahun, paling mudah dan cepat terimbas. Padahal, sektor ini ditargetkan menarik 20 juta wisatawan mancanegara pada 2019 yang bisa menambah cadangan devisa 15-20 miliar dollar AS. Turki sudah merasakan terkoyaknya pariwisata oleh konflik politik.

Tahun 2017 tidaklah mudah. Momentum pertumbuhan ekonomi hendaknya dibebaskan dari instabilitas sosial-politik karena akan menyebabkan kerja keras sektor perekonomian berujung pada kesia-siaan belaka.






  
 Reza Faizal Daradjat





Referensi :
A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta

Tuesday, April 26, 2016

Analisa Awal : Menjajaki Indonesia - EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA)



Kunjungan Presiden Joko Widodo ke beberapa negara Eropa menjadi indikasi pentingnya hubungan antara Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Dalam lima tahun belakangan, negara-negara Uni Eropa (UE) merupakan sumber investasi asing terbesar ketiga di Indonesia setelah Singapura dan Jepang. Sebagian besar investasi itu berasal dari Jerman, Belanda, dan Inggris, yang termasuk dalam agenda kunjungan ini. Lebih lagi, sebagian besar investasi tersebut berada pada sektor sekunder, seperti pengolahan produk makanan dan kimia dasar, dan pada sektor jasa, termasuk logistik, keuangan, dan hotel, yang dapat memberikan kontribusi lebih besar bagi perekonomian.

Belum optimal

Komplementaritas yang tinggi membuat banyak peluang untuk hubungan ekonomi yang lebih kuat. Namun, komplementaritas tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan optimal. Statistik menunjukkan, perdagangan antara keduanya cenderung stagnan. Produk-produk Indonesia juga cenderung kehilangan pangsa di pasar Eropa. Jika pada awal 2000-an pangsa pasar produk Indonesia di atas 1 persen, saat ini hanya sekitar 0,8 persen. Indonesia cenderung kehilangan pangsa pada banyak produk yang pasarnya berkembang pesat, seperti tekstil dan pakaian yang tumbuh 5 persen per tahun. Begitu pula produk seperti furnitur dan beberapa produk elektronik. Beberapa produk andalan Indonesia juga tidak mempunyai pangsa pasar tinggi. Kebanyakan hanya mempunyai pangsa pasar kurang dari 2 persen.

Teori ekonomi menjelaskan, perdagangan antara negara yang berjauhan memang relatif lebih kecil dibandingkan yang berdekatan. Namun, tingkat pembangunan ekonomi yang berbeda dan besarnya perekonomian akan mendorong perdagangan yang lebih intensif. Studi CSIS (2014) mengenai Indonesia dan UE menunjukkan, hubungan perdagangan keduanya masih di bawah potensial. Salah satu permasalahan utama, kurangnya kemampuan produk Indonesia memenuhi standar dan ketentuan yang berlaku di Eropa. Negara UE memang menetapkan aturan yang ketat dalam menjamin perlindungan konsumen, kesehatan, serta lingkungan dalam produk yang diperjualbelikan.

Produk makanan Indonesia terkadang ditolak untuk masuk ke UE karena tidak memenuhi berbagai ketentuan. Ketentuan tersebut bukan hanya menyangkut higienitas dalam pengolahan produk itu sendiri, melainkan juga ketentuan mengenai bahan makanan yang dipergunakan. Produk yang diekspor tidak boleh mengandung bahan berbahaya ataupun diproduksi dengan merusak lingkungan. Banyak produsen Indonesia yang mengalami kesulitan dalam memastikan bahwa bahan yang mereka gunakan sudah diproses sesuai dengan aturan perlindungan kesehatan dan lingkungan.


Ini terlihat jelas sekali dalam kasus produk kelapa sawit ataupun olahannya. Negara-negara UE mengharuskan produk kelapa sawit memenuhi standar produksi yang ramah lingkungan dan tak melanggar HAM yang dikenal dengan sertifikasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang dikeluarkan oleh Indonesia belum dapat diterima oleh UE, yang mengakibatkan produsen Indonesia harus mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan ekspor ke UE.

Produsen Indonesia juga mengalami permasalahan dalam ekspor produk elektronik. Negara UE mewajibkan bukan hanya kualitas produk yang baik, melainkan juga bebas dari substansi yang dianggap berbahaya. Selain itu, produk elektronik harus memenuhi waste electrical and electronic equipment directive, yang bertujuan mengurangi limbah dari produk tersebut. Dengan aturan tersebut, produk elektronik harus diproduksi dengan cara mengurangi limbah serta memiliki karakteristik yang mudah untuk didaur ulang setelah tidak lagi digunakan meskipun tujuannya sangat baik, kebanyakan produsen Indonesia masih mengalami kesulitan dalam memenuhi aturan tersebut.

Indonesia-EU CEPA

Berbagai permasalahan itu memperlihatkan pentingnya hubungan lebih formal antara kedua ekonomi. Salah satu agenda dalam kunjungan ini adalah meninjau dimulainya perundingan kesepakatan perdagangan yang dikenal sebagai Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).

Berbagai aturan perdagangan yang dijelaskan sebelumnya, sering disebut sebagai non-tariff measures (NTM), akan menjadi agenda utama dalam negosiasi IEU-CEPA. Indonesia bisa meminta akses informasi yang lebih baik atas berbagai NTM agar para eksportir Indonesia mengetahui ketentuan yang berlaku. Lebih jauh lagi Indonesia dapat meminta agar sertifikasi yang dikeluarkan oleh badan- badan di Indonesia dapat diselaraskan dan diterima oleh aturan UE. Indonesia juga dapat meminta bantuan teknis dan peningkatan kapasitas bagi para produsen untuk memenuhi berbagai ketentuan tersebut.


Kesepakatan IEU-CEPA juga akan membahas penurunan bea masuk produk Indonesia ke pasar Eropa. Saat ini, hampir sekitar 50 persen dari ekspor Indonesia mendapatkan fasilitas Generalized Scheme of Preferences (GSP). Ini membuat bea masuk yang dibayarkan jauh lebih rendah daripada yang seharusnya. Beberapa produk bahkan bisa diekspor tanpa harus membayar bea. Permasalahannya adalah fasilitas GSP tidak berlaku selamanya karena hanya diperuntukkan bagi negara berkembang-bawah. Indonesia sebentar lagi akan memasuki kelompok negara berkembang-atas, yang tidak lagi berhak untuk fasilitas GSP. Akibatnya, ekspor Indonesia akan berpotensi mengalami penurunan karena harus membayar bea masuk yang lebih tinggi.

Dalam studi mengenai IEU-CEPA, CSIS (2014) memperkirakan ekspor Indonesia turun hingga 12 persen jika tidak ada fasilitas bea masuk lain yang menggantikan GSP. IEU-CEPA diharapkan dapat memberikan berbagai fasilitas yang mengurangi hambatan bagi ekspor Indonesia ke UE, termasuk bea masuk preferensial untuk menggantikan GSP yang sebentar lagi akan hilang.

Selain peningkatan hubungan perdagangan, kesepakatan ini juga diharapkan akan meningkatkan investasi yang datang ke Indonesia. Dengan menurunnya hambatan perdagangan dan kian mudahnya lalu lintas barang, daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi dan basis produk juga akan meningkat. Selain itu, salah satu bagian dari CEPA adalah perjanjian mengenai investasi yang akan mendorong perbaikan iklim investasi di Indonesia. Perbaikan ini akan meningkatkan kredibilitas Indonesia sebagai bagian dari investasi global, bukan hanya untuk negara anggota UE.


IEU-CEPA sendiri sebenarnya bukanlah inisiatif baru. Prosesnya telah dimulai sejak 2011, tetapi mengalami penundaan selama beberapa tahun belakangan. Indonesia mempunyai kepentingan untuk kembali melanjutkan prosesnya. Tidak hanya karena berbagai manfaat yang dapat dihasilkan, tetapi juga karena banyak negara pesaing, termasuk negara ASEAN lain, telah mempunyai kesepakatan dengan UE.


Tanpa kesepakatan formal seperti CEPA, Indonesia akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan hubungan ekonomi dan tertinggal dari negara-negara pesaingnya. Kunjungan Presiden Jokowi ke Eropa dapat menjadi momentum tepat untuk memulai kembali proses kesepakatan antara kedua perekonomian besar ini.



  
 Reza Faizal Daradjat





Referensi :
CSIS

Wednesday, January 6, 2016

”Star Wars” Sebagai Pembelajaran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Image result for star wars the force awakens

Gegap gempita Star Wars episode 7 yang diputar perdana di bioskop, Desember lalu, telah menutupi realitas kehadiran Masyarakat Ekonomi ASEAN. Meski demikian, ada pelajaran menarik dari serial film tersebut. Majalah The Economist edisi Natal 2015 mengulas perekonomian dari perspektif Star Wars.

Mengutip studi Zachary Feinstein, ahli rekayasa keuangan dari Universitas Washington di St Louis, Amerika Serikat, perekonomian dan sektor keuangan bagaikan suasana galaksi di film Star Wars yang terus berseteru menemukan keseimbangan baru dalam alam semesta (force).

Merujuk pada tulisan itu, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bisa juga dimaknai sebagai fenomena membangun planet ekonomi sebuah galaksi. Sementara planet lain, khususnya Eropa dan AS, tengah bergulat dengan krisis, zona ekonomi ASEAN mulai berlaku. Inilah momentum penting dalam galaksi perekonomian global.

Kini MEA bukan lagi sekadar jargon atau cita-cita, melainkan realitas. Sejak diberlakukan pada 31 Desember 2015, secara resmi kawasan ini bebas dalam lalu lintas barang, jasa, modal, investasi, dan tenaga kerja. Pertanyaan tentang kesiapan, apalagi ketidaksetujuan, tak lagi relevan. Sejarah telah bergulir dan tidak bisa diputar kembali. Faktanya, Indonesia adalah pelopor ASEAN dan kemudian MEA.

Sebagai kawasan ekonomi baru, kunci pokoknya adalah mengintegrasikan mata rantai pasokan dari setiap negara guna mendorong kinerja kawasan. MEA akan menjadi kekuatan penting dengan besaran ekonomi sekitar 2,5 triliun dollar AS dan volume perdagangan intrakawasan sekitar 1 triliun dollar AS. Bank Pembangunan Asia (ADB) meyakini, dengan penataan yang baik, relasi ekonomi antarnegara dalam MEA akan merevitalisasi ekonomi dari gejala pelambatan global. Dengan kata lain, MEA bisa menjadi counter-cycle dari kelesuan global.

MEA akan meningkatkan arus ekspor dan investasi langsung antarnegara sehingga kinerja perekonomian di setiap negara akan meningkat, di samping sebagai kesatuan ekonomi. Syaratnya, tiap negara harus mampu mendefinisikan keunikan posisi masing-masing di setiap mata rantai nilai industri, baik dari sisi ekspor, impor, maupun investasi.

Image result for masyarakat ekonomi asean

Studi gabungan ADB dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengalkulasi tambahan lapangan kerja baru akibat integrasi ekonomi pada 2025 mencapai 14 juta lapangan kerja, sementara ekonomi kawasan akan tumbuh sekitar 7 persen. Dalam studi ini disebutkan, Indonesia hanya akan menikmati tambahan 1,9 juta lapangan kerja baru atau 13 persen dari total tambahan tenaga kerja akibat MEA. Salah satu penyebabnya, sistem pendidikan di Indonesia tak mampu menghasilkan tenaga terampil. Ada kesenjangan lulusan dengan kebutuhan di lapangan.

Kekuatan perekonomian Indonesia sekaligus menjadi kelemahan. Kekuatan kita ada pada sumber daya manusia sebagai negara terbesar dengan sekitar 240 juta penduduk atau lebih dari sepertiga total penduduk ASEAN. Kita memiliki bonus demografi karena sebagian besar penduduk berusia produktif dan siap menjadi penyedia tenaga kerja dalam mata rantai regional. Namun, faktanya, tenaga kerja kita tidak kompetitif dan tenaga kerja asing berpotensi masuk ke berbagai sektor industri di Tanah Air.

Forum Ekonomi Dunia setiap tahun melakukan survei tentang daya saing global. Dalam laporan The Global Competitiveness Report 2015-2016, kualitas pendidikan kita terbelakang dibandingkan dengan dua negara sejajar di ASEAN, yaitu Malaysia dan Thailand. Dari 140 negara yang disurvei, posisi Indonesia dalam hal pendidikan tinggi dan pelatihan tenaga kerja ada di peringkat ke-65, sementara Thailand ke-56 dan Malaysia ke-36. Dalam kualitas sistem pendidikan, Indonesia di posisi ke-41, sementara Malaysia ke-4. Adapun dalam kualitas manajemen sekolah, kita berada di peringkat ke-49 dan Malaysia ke-6.

Harus diakui, sistem pendidikan kita masih belum terintegrasi dengan sektor dunia usaha. Sistem pendidikan formal dalam beberapa hal justru membuat lulusan semakin terasing dari dunia kerja. Seseorang yang lulus dari perguruan tinggi berekspektasi menduduki posisi manajemen di sebuah perusahaan. Padahal, kualifikasinya tak mencukupi.

Image result for education system

Akibatnya, di beberapa sektor industri domestik, seperti perbankan dan teknologi informasi, terjadi kelangkaan sumber daya. Perpindahan tenaga kerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain pun tak terelakkan. Dengan MEA, kedua sektor akan mendapatkan pasokan tenaga kerja dari luar Indonesia. Apalagi, tingkat gaji kedua sektor itu termasuk tertinggi di kawasan ASEAN. Konsekuensinya, di beberapa sektor tertentu akan ada tenaga kerja asing yang masuk.

Sebenarnya tenaga kerja asing yang masuk ke beberapa sektor akan membuat perkembangan sektor ekonomi menjadi semakin tinggi sehingga masih tetap menguntungkan. Justru itulah esensi dari integrasi ekonomi. Kita tidak mungkin menang di semua hal, begitu juga tak mungkin kalah di semua lini. Sektor otomotif menjadi salah satu andalan kita. Apalagi jika industri komponen juga ditumbuhkan dengan baik, pasti MEA akan memberi efek pengganda positif yang luas.

Belajar dari serial Star Wars, tak ada pemenang tunggal yang permanen. Konstelasi terus berubah secara dinamis. Untuk itu, kuncinya adalah menyatukan kekuatan domestik. Jangan lagi sibuk dengan kontestasi antarkita saja


  
 Reza Faizal Daradjat





Referensi :

A Prasetyantoko
Ekonom pada Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Proyeksi "Agricultural Economy" Indonesia Di Tahun 2016


Prospek ekonomi pangan dan pertanian Indonesia 2016 diperkirakan tidak akan banyak berbeda dari 2015. Namun, tantangan yang akan dihadapi ekonomi pangan hampir dapat dipastikan akan lebih berat ketimbang 2015. Dampak kekeringan ekstrem El Nino yang menekan sebagian produksi pangan dan keterlambatan musim tanam akan mulai terasa pada 2016. Di dalam negeri, ekonomi pangan dan pertanian Indonesia harus menghadapi kenaikan harga pangan pokok karena kinerja produksi dan manajemen stok yang bermasalah.

Walaupun laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal November 2015 menunjukkan peningkatan produksi beras 5,6%, jagung 4,4%, dan kedelai 2,9%, atau mengindikasikan surplus produksi pada beras dan jagung, fakta di lapangan tidak seperti yang diramalkan. Akan tetapi, ketika dampak kekeringan tersebut telah mulai terasa, ratusan hektare (ha) lahan padi mengalami puso dan gagal panen. Masyarakat perdesaan terpaksa harus berjalan berpuluh kilometer hanya untuk memperoleh satu-dua ember air bersih. Rasa percaya diri terhadap kenaikan produksi pangan spektakuler tersebut pun perlahan berkurang.

Pada awal November, sekitar 500 ribu ton beras impor dari Vietnam telah mulai dibongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok yang sebagian besar mengisi cadangan beras yang dikelola Perum Bulog. Para analis dan ekonom pertanian sebenarnya cukup mafhum bahwa impor beras 1,5 juta ton sebenarnya tidak terlalu istimewa. Stok beras pada akhir Desember 2015 berada pada titik kritis di bawah 1 juta ton dan fakta memperlihatkan sulitnya pengadaan beras dalam negeri pada masa kekeringan. Karena itu, harga eceran beas dalam negeri merangkak naik.

Fenomena sebaliknya justru dijumpai di tingkat global. Hampir seluruh harga pangan strategis mengalami penurunan yang signifi kan. Dalam ekonomi global modern, harga-harga pangan strategis sangat berhubungan dengan harga minyak bumi. Bahkan, penurunan harga pangan global tersebut telah menekan sektor perkebunan secara amat signifi kan karena rendahnya harga karet, kelapa sawit, teh, dan lainlain yang sempat mengurangi insentif bagi petani dan usaha perkebunan untuk menggenjot produksi. Singkatnya, sepanjang 2015, ekonomi pangan Indonesia menderita persoalan struktur pasar dalam negeri, governansi ekonomi, dan tata niaga komoditas yang tidak efisien. Pelaku ekonomi yang paling lemah selalu menanggung dampak dari buruknya struktur pasar komoditas pangan tersebut.


Kulitas rendah

Secara makro, kinerja pertumbuhan ekonomi sektor pertanian sampai dengan triwulan 3 2015 tercatat hanya 3,21% per tahun, masih jauh lebih rendah daripada kinerja pertumbuhan ekonomi makro yang mencapai 4,73%. Tingkat pertumbuhan sebesar itu belum cukup untuk menyerap tenaga atau penciptaan lapangan kerja baru, apalagi mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Angka kemiskinan pada 2015 justru meningkat menjadi 28,59 juta jiwa (11,22%) dari 27,73 juta (10,96%) pada September 2014. Angka kemiskinan di perdesaan, yang sebagian besar penduduknya masih bekerja di sektor pertanian, pada 2015 meningkat menjadi 17,94 juta jiwa (62,7% dari total orang miskin) dari 17,73 juta jiwa (62,6%) pada 2014. Dalam pandangan teori kualitas pertumbuhan, pertum buhan ekonomi makro Indonesia memiliki kualitas rendah atau kinerja ekonomi makro tidak berkualitas sehingga cukup sulit untuk menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah menetapkan sasaran kedaulatan pangan dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019. Secara sederhana, kedaulatan pangan dimaksudkan sebagai suatu kekuatan untuk mengatur masalah pangan secara mandiri, yang didukung oleh (1) ketahanan pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (2) pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan bangsa sendiri; dan (3) kemampuan melindungi dan menyejahterakan pelaku utama pangan terutama petani dan nelayan.

Kementerian Pertanian yang merasa sebagai instansi pemerintah yang ikut bertanggung jawab untuk mencapai sasaran kedaulatan pangan telah menerjemahkan amanat RPJM tersebut dalam suatu strategi besar Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Upsus Pajale). Dukungan politik yang demikian tinggi dari anggota parlemen, berupa tambahan alokasi anggaran pada APBN-P 2015 sekitar Rp16 triliun sehingga total anggaran sektor pertanian mencapai Rp32,7 triliun, telah membuat Upsus Pajale seakan tidak boleh gagal. Setidaknya terdapat empat gugus kegiatan besar dalam Upsus Pajale, yaitu (1) peningkatan produktivitas padi melalui program Gerakan Penerapan-Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT), yang merupakan `fotokopi' atau penyempurnaan dari program pada pemerintahan sebelumnya, yaitu Sekolah LapanganPengeloan Tanaman Terpadu (SL-PTT); (2) perluasan area dan pengelolaan lahan melalui pengembangan atau rehabilitasi jaringan irigasi tersier (RIJT) dan optimasi lahan (oplah); (3) Pengamanan produksi pangan melalui bantuan benih, pupuk, dan traktor atau alat-mesin pertanian, dan (4) dukungan manajemen pengawalan/ pendampingan dan kelembagaan yang melibatkan aparat militer di segenap pelosok Tanah Air dan sivitas akademika beberapa universitas.


Strategi Upsus Pajale tersebut merupakan respons dari tekanan besar yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada berbagai kesempatan kepada Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman untuk men capai swasembada padi, jagung, dan kedelai dalam waktu tiga tahun, atau pada akhir 2017.Walaupun secara semantik istilah swasembada tidak terlalu tepat karena di atas kertas Indonesia sebenarnya telah mencapai swasembada beras, `kontrak politik' telah telanjur disepakati. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) agak longgar mendefisikan swasembada pangan, yaitu apabila setidaknya 90% dari kebutuhan pangan dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri. Impor beras sebesar 1,5 juta ton pada tahun lalu sebenarnya tidak lebih dari 4% dari total produksi beras nasional sekitar 43 juta ton beras, hasil konversi 74,99 juta ton gabah kering gilimg (GKG).

Akan tetapi, impor jagung yang diperkirakan sekitar 3 dengan 15% produksi jagung nasional, yang tercatat 19 juta ton pipilan kering. Dalam hal itu, Indonesia belum mencapai swasembada jagung karena masih harus mengandalkan jagung impor, terutama dari Amerika Serikat (AS), untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak yang berkembang amat pesat. Demikian juga Indonesia belum mencapai swasembada kedelai karena produksi kedelai dalam negeri hanya 982 ribu ton atau hanya sepertiga dari kebutuhan kedelai nasional yang mencapai hampir 3 juta ton. Indonesia masih sekitar 70% tergantung pada kedelai impor yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat (AS), Brasil, dan Argentina.

Sistem usaha tani kedelai di Indonesia telah telanjur `rusak' selama 20 tahun terakhir dan semakin parah sejak liberalisasi perdagangan kedelai pada akhir 90-an semasa krisis ekonomi Asia. Sampai awal 90an, Provinsi Sumatra Selatan dan Lampung bahkan pernah tercatat sebagai sentra produksi kedelai sangat potensial dengan penerapan teknologi budi daya amat modern dan mekanisasi pertanian yang cukup efisien. Ketika petani tidak memiliki insentif harga yang memadai, terutama karena harga kedelai impor yang amat murah, sulit diharapkan terjadi peningkatan produktivitas kedelai dalam waktu singkat.


Prospek 2016

Dengan kinerja ekonomi pangan 2015 yang demikian dramatis, walaupun anggaran telah dinaikkan dua kali lipat, prospek ekonomi pangan dan pertanian pada 2016 masih akan menyesuaikan diri dengan langgam perubahan birokrasi dan administrasi di pusat dan daerah.

Pertama, prospek ekonomi beras masih tidak akan beranjak besar dari pencapaian pada 2015. Dengan metode estimasi yang belum diperbaiki, pemerintah menargetkan produksi beras pada 2016 diperkirakan mencapai 77 juta ton GKG. Pengalaman historis menunjukkan setelah fenomena kekeringan esktrem El Nino, kinerja produksi pangan biasanya menurun. Hal yang jelas ialah musim tanam telah mundur satu bulan menjadi akhir November atau awal Desember karena musim kering yang cukup dahsyat. Kemudian masa panen raya pada musim rendeng sekarang ini akan mundur sampai April 2016. Jika masa panen hanya bergeser satu bulan, tentu hal itu bukan masalah. 

Mundurnya musim tanam biasanya juga mengganggu keseimbangan agroeko sistem tanaman pangan, khususnya padi. Kasus ledakan hama wereng cokelat pada 2012 ialah salah satu contoh terganggunya keseimbangan ekologis karena perubahan iklim dan cuaca yang mendadak basah agak berkepan jangan.

Faktor-faktor itulah yang seha rusnya diantisi pasi pemerintah, di samping tentunya menggenjot upaya percepatan rehabilitasi jaringan irigasi tersier, optimasi lahan, dan manajemen intenfisikasi produksi lainnya. Demikian pula dalam masa tunggu tiga bulan selama musim tanam sekarang ini, yaitu pada Januari, Februari, dan Maret, pemerintah wajib fokus pada pemantauan pergerakan harga eceran pangan pokok, khususnya beras. Antisipasi operasi pasar dan simplifikasi mobilisasi cadangan pangan di tingkat daerah wajib diupayakan dengan sungguh-sungguh.Pengalaman kenaikan harga beras pada Februari 2015 sampai 25%-30% tentu tidak harus berulang jika pemerintah mampu mengantisipasi pergerakan harga pangan pokok yang telah mulai terlihat sejak awal tahun atau Januari 2015.

Kedua, prospek produksi ja gung 2016 juga tidak akan banyak beranjak dari angka 19 juta-20 juta ton karena perhatian pada intensifikasi produksi jagung tidak sebesar pada beras. Kasus liarnya harga jagung pangan sampai sekitar Rp5 ribu per kilogram tidak boleh terulang pada 2016. Pada 2015, cukup besar stakeholders peternakan rakyat yang terpukul karena tingginya harga jagung, yang digunakan sebagai bahan baku pakan ternak. Pemerintah telah seharusnya memperhatikan penggunaan dan adopsi benih jagung unggul atau jagung hibrida, yang tentu saja cukup berbeda dalam pemeliharaannya jika dibandingkan dengan jagung varietas biasa.

Ketiga, prospek ekonomi kedelai pada 2016 masih tidak secerah kedua komoditas pangan padi dan jagung. Produksi kedelai diperkirakan masih sulit untuk menembus 1 juta ton karena konversi ladang kedelai menjadi kegunaan lain, termasuk kelapa sawit. Pengembangan sistem insentif produksi kedelai kepada petani kecil, skema penjaminan harga tingkat petani, dan jaminan pembelian atau jaminan pemasaran kedelai perlu diupayakan untuk dilaksanakan secara sungguh-sungguh.

Keempat, prospek ekonomi pangan dan pertanian akan cerah apabila pemerintah mampu bekerja sama dengan seluruh stakeholders bidang pangan. Strategi Upsus Pajale hanyalah salah satu pendekatan.Pembangunan pertanian yang berhasil tidak hanya akan memperkuat sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani saja, tapi juga berkontribusi pada keberadaban proses transformasi struktural perekonomian. Maknanya, pembangunan pertanian yang akan dikenang sepanjang masa oleh warga negaranya sendiri dan oleh warga dunia ialah apabila pembangunan tersebut mampu memberikan dampak pendapatan dan dampak lapangan kerja bagi warga negara dan bagi sektor-sektor ekonomi yang lain.

Proses transformasi struktural yang kukuh pasti akan menghasilkan sektor industri yang tangguh. Hal itu juga menjadi andalan pembangunan ekonomi nasional dan menciptakan sektor jasa serta tersier lain, yang menjadi tumpuan hidup kaum kelas menengah masa depan, yang diperkirakan melebihi 100 juta orang dalam waktu dekat.


  
 Reza Faizal Daradjat




Referensi :

Bustanul Arifin
Guru Besar Unila; Ekonom Senior Indef; Professorial Fellow di Sekolah Bisnis IPB