Sunday, November 24, 2013

Indonesia : Mengerem Pertumbuhan Ekonomi ???

 

Agak di luar dugaan, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan BI Rate jadi 7,5 persen. Kenaikan suku bunga kali ini tampaknya tidak dimaksudkan untuk meredam inflasi, seperti yang lazim dilakukan. Inflasi year on year Oktober 2013 cukup terkendali 8,32 persen. Sedikit turun dari 8,4 persen pada bulan sebelumnya. Pesan yang ingin disampaikan BI adalah, dengan kebijakan ini, mereka berupaya mengurangi defisit transaksi berjalan yang masih 8,4 miliar dollar AS pada triwulan III-2013, atau turun dari 9,9 miliar dollar AS pada triwulan II. 

Bagaimana transmisi kedua variabel tersebut? Jika suku bunga naik, hasrat untuk berkonsumsi (propensity to consume) akan berkurang, demikian pula hasrat investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi (C) dan investasi (I) akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand). Karena struktur industri kita sensitif terhadap barang dan jasa impor, selanjutnya impor barang dan jasa akan berkurang. Pengurangan ini akan menurunkan defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan. 

Efektifkah kebijakan ini? Bisa jadi demikian, karena dalam situasi krisis ekonomi global yang mulai dirasakan transmisinya ke Indonesia, tingkat kepercayaan para pelaku ekonomi juga mulai goyah. Ekspresinya, mereka mulai mengerem konsumsi. Dua industri yang biasanya bisa menjadi indikator bergairah atau tidaknya perekonomian adalah industri otomotif dan properti. 

Sejauh ini, pada industri otomotif belum ada tanda-tanda itu. Kemampuan para produsen melakukan inovasi, misalnya dengan produksi mobil yang irit dan murah, serta sepeda motor yang hemat, berhasil menumbuhkan penjualan. Penjualan mobil tahun ini diperkirakan 1,2 juta unit, sedangkan sepeda motor kembali ke level 8 juta unit. 

Namun, untuk sektor properti, mulai ada tanda-tanda melemah. Di beberapa kota besar (terutama Jakarta dan Surabaya) mulai dikeluhkan gejala ”gelembung properti”, harga properti melambung tinggi, tetapi kemudian pemilik kesulitan menjualnya kembali jika diperlukan. Aset ini menjadi berkurang derajat likuiditasnya. Meski demikian, asalkan para pengembang jeli mencari segmen pasar dan lokasi yang tepat, sebenarnya industri properti masih terbuka ekspansi, mengingat masih banyak keluarga yang belum memiliki rumah pertama. 

Upaya mengerem pertumbuhan ekonomi tak hanya oleh Indonesia. China mulai menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi hingga dua digit (periode 2001-2008) membawa beberapa dampak negatif. Sektor properti terlalu menggelembung sehingga rawan meletus. Upah buruh naik, harga tanah di kota-kota industri sepanjang pantai timur naik drastis. Jika tidak dikendalikan, itu akan merusak daya saing China di kemudian hari. Solusinya, pertumbuhan ekonomi diperlambat. Itulah sebabnya, perekonomian China tahun ini diperkirakan tumbuh 7,6 persen-7,8 persen. Kendati demikian, level pertumbuhan ini tetap yang tertinggi di dunia. 

Yang menarik, dua lembaga multilateral, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, sejak Oktober 2013 meramal Indonesia akan mengalami koreksi pertumbuhan ekonomi ke bawah. Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi 2013 hanya 5,6 persen dan tahun depan (2014) 5,4 persen. Sementara IMF meramal pertumbuhan 5,3 persen (2013) dan 5,5 persen (2014). 

Proyeksi itu rasanya terlalu rendah. Tahun ini, pertumbuhan ekonomi masih 5,8 persen. Pada triwulan IV-2013, biasanya kementerian dan lembaga ngebut mengejar target absorpsi anggaran. Hal yang sama juga pada perusahaan-perusahaan swasta. Datangnya musim liburan akhir tahun dan Natal juga memberi energi belanja yang lebih sehingga mendorong permintaan agregat. 

Tahun 2014, tahun pemilu, akan menumbuhkan asa memiliki presiden dan pemerintahan baru yang lebih kuat. Ujungnya, tumbuh sentimen positif yang bisa memacu investasi. Ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Proyeksi Bank Pembangunan Asia (ADB) lebih realistis. Mereka meramal pertumbuhan ekonomi 5,7 persen (2013) dan 6,0 persen (2014). 


Proyeksi lembaga-lembaga finansial dunia cukup beragam, misalnya Goldman Sachs 5,4 persen (2013) dan 5,5 persen (2014), HSBC (5,6 dan 5,5 persen), ING (5,9 dan 7 persen), DBS (5,8 dan 6 persen), Economist Intelligence Unit (5,1 dan 5,4 persen), Citigroup (5,7 dan 5,3 persen), Nomura (5,5 dan 5,7 persen), ANZ (5,5 dan 6 persen), Barclays Capital (5,4 dan 5,5 persen), Credit Suisse (5,7 dan 5,5 persen), dan yang paling parah JP Morgan (5,5 dan 4,9 persen). Saya cenderung sependapat dengan ADB dan DBS. 

Apakah suku bunga masih akan naik lagi pada Desember 2013? Bisa ya, bisa tidak. Bisa ya jika BI tidak melihat jalan lain untuk menstabilkan rupiah yang saat ini di level Rp 11.600 per dollar AS. Stabilisasi rupiah merupakan tujuan terpenting, melebihi prioritas lainnya. Di sisi lain, BI tetap harus berhitung, kenaikan suku bunga lebih lanjut hanya akan memicu kenaikan suku bunga kredit sehingga menyengsarakan dunia usaha. 

Ada tanda kebijakan kenaikan suku bunga ini masih dilanjutkan. Alasannya, mengantisipasi kenaikan suku bunga di AS. Jika suku bunga AS naik (kini suku bunga acuan The Fed hanya 0,25 persen), akan rawan terjadinya aliran modal keluar dari Indonesia. 

Namun, tahun depan kita punya modal inflasi yang lebih rendah. Harga minyak mentah dunia hingga tahun depan rasanya masih akan bergerak di antara 100 dollar AS per barrel (minyak West Texas Intermediate) hingga 110 dollar AS (Brent), ditambah lagi pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM (mesti subsidi sudah di atas Rp 300 triliun), maka inflasi pun akan turun ke level 5,5 hingga 6,5 persen. Dalam kondisi ini, mestinya BI menurunkan BI Rate. 

Keinginan BI agar penyaluran kredit pada industri perbankan hanya tumbuh 15-17 persen tahun depan, saya rasa terlalu konservatif. Pertumbuhan kredit selevel itu hanya akan memacu pertumbuhan ekonomi 5,5 persen. Jika ingin pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen, pertumbuhan kredit mestinya antara 18 hingga 20 persen. 


Kita tidak harus mengikuti jejak China untuk mengerem pertumbuhan ekonomi karena situasinya berbeda. Data pengangguran terakhir China adalah 4 persen, atau jauh lebih rendah daripada Indonesia yang sekitar 6 persen. Artinya, bagi Indonesia masih lebih urgen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar tercipta kesempatan kerja baru daripada menaikkan BI Rate terus-menerus.
 
  
 Reza Faizal Daradjat




Referensi :
A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
 

Sunday, May 5, 2013

Ketergantungan Indonesia Terhadap BBM Sudah Seperti Orang "Sakau"

Indonesia sangat ”kecanduan” dengan penggunaan bahan bakar minyak sebagai sumber energi. Pengalihan BBM ke energi alternatif sangat sulit, bahkan tidak mungkin terjadi meskipun telah banyak penelitian tentang energi alternatif oleh institusi-institusi di Indonesia. Saat terjebak macet di Jakarta, Bandung, atau saat duduk menunggu di Bandara Soekarno-Hatta, keadaan ini mengingatkan kita akan ”kecanduan” masyarakat Indonesia pada BBM. Penggunaan yang berlebihan ini tidak sebanding dengan perkembangan penemuan energi alternatif yang berjalan lambat. 

Subsidi Produsen
”Kecanduan” ini juga tampak sangat jelas pada subsidi BBM konsumen (lebih dari 10 persen GDP negara saat ini), di mana sebagian besar permasalahan yang timbul dimulai dari subsidi BBM produsen. Subsidi BBM produsen bukanlah istilah yang umum dalam bidang ekonomi, fiskal, dan sektor energi. Istilah subsidi di Indonesia umumnya mengacu ke subsidi hilir, dan secara khusus disebut sebagai subsidi harga BBM (yang merupakan kesenjangan antara harga pasar dan harga domestik).

Peraturan di Indonesia tidak menjelaskan perbedaan tentang kedua subsidi ini. Dalam bidang akuntansi, fiskal, dan energi, hal yang mengarah pada subsidi produsen tidak diklasifikasikan sebagaimana seharusnya. Istilah subsidi produsen dan subsidi konsumen yang tidak jelas ini mengakibatkan penelitian terhadap subsidi BBM produsen sangat sulit di Indonesia.

Subsidi produsen terkadang diistilahkan ”insentif/hibah pemerintah di tingkat hulu”, bertujuan untuk menjembatani kesenjangan persepsi masyarakat Indonesia. Penurunan investasi dari pihak asing dalam sektor minyak dan pertambangan akhir-akhir ini akan membuat masyarakat percaya bahwa insentif pemerintah mulai berkurang dan kehilangan daya tarik bagi para investor asing.

Ini hanya isu politik sementara. Isu subsidi (insentif) sektor minyak dan pertambangan akan berkembang lagi ketika isu-isu politik (pemilu presiden mendatang, pembubaran BP Migas, pajak ekspor bahan baku mentah, dan hak kontrak penambangan) diselesaikan setelah 2014.

Namun, debat subsidi BBM konsumen lebih intens daripada subsidi BBM produsen karena kurangnya informasi dan data. Dalam beberapa tahun terakhir, para ekonom dan institusi, seperti IMF dan Bank Dunia, mendorong untuk mengurangi jumlah subsidi BBM konsumen. Tentu saja kemungkinan perjanjian pengurangan subsidi BBM produsen juga dimungkinkan terjadi meskipun tidak dalam tingkatan yang sama pentingnya dengan pengurangan subsidi konsumen. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh politik dan lobi-lobi besar perusahaan minyak dan pertambangan di dalam pemerintah atau institusi ini.

Meski demikian, subsidi konsumen yang telah dijanjikan tak dapat ditarik kembali. Seperti yang terjadi tahun lalu di Indonesia dan Nigeria, usaha perubahan politik subsidi seperti menaikkan harga-harga tak berjalan sesuai harapan. Perubahan subsidi ini malah memicu kerusuhan dan konflik dengan polisi.

Kebijakan subsidi BBM telah jadi hak milik setiap orang saat ini, terutama di negara-negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah. Sementara permintaan BBM dari institusi asing, seperti kantor-kantor yang nyaman (jauh dari kemacetan, atau banjir) di London atau Wina, bertentangan dengan kondisi masyarakat yang berjuang untuk bertahan hidup di Pontianak atau Manado. Realitas tidak berjalan sesuai dengan teori yang ada.

Subsidi harga BBM untuk sektor industri dicabut pada 2005. Awalnya kebijakan ini terlihat sangat bermanfaat, tetapi banyak pendapat yang sangat berbeda di sini dan terus-menerus diperdebatkan setelah beberapa tahun kemudian. Sampai saat ini, entah bagaimana sektor industri masih mendapatkan BBM bersubsidi yang seharusnya ditujukan untuk masyarakat umum.
Sebagai contoh, pertama, dalam praktiknya Pemerintah Indonesia dapat membuat pengecualian dalam penyediaan BBM bersubsidi untuk transportasi ke daerah-daerah tertentu yang sulit dijangkau meskipun volume pengurangan ini tidak terlalu signifikan. Permasalahan ini sangat jarang diperbincangkan.

Kedua, memilah bagian yang diklasifikasikan dalam sektor industri tidak mudah. Bukankah truk-truk pengangkut milik industri seharusnya diklasifikasikan sebagai truk sektor industri? Dalam praktiknya, truk- truk itu mendapatkan solar bersubsidi. Interpretasi dan klasifikasi alat transportasi dan logistik harus dilakukan secara spesifik. Hal yang sama, Indonesia mendistribusikan solar bersubsidi untuk kapal-kapal kargo dan kapal-kapal kecil (sekali lagi, pemahaman tentang klasifikasi kapal-kapal industri dan kapal-kapal kecil harus diperjelas).

Subsidi BBM dan gas terbesar di Indonesia adalah bagi pihak kontrak bagi hasil. Namun, informasi mengenai pihak tersebut tidak mudah didapatkan. Bahkan, meskipun ada informasi, tidak lengkap. Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi, sesuai Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 beserta putusan pembubaran BP Migas pada November 2012.

Pemerintah Indonesia wajib memiliki daftar lengkap mengenai aturan dan tata cara untuk menjalankan serta mengembangkan bagi pihak dengan kontrak bagi hasil tersebut. Hal ini sangatlah penting karena subsidi bagi kontrak bagi hasil adalah kesenjangan pemahaman dalam pasar bahan bakar mineral di Indonesia. Akan lebih bermanfaat dengan mengetahui adanya daftar batasan dan ketentuan kontrak bagi hasil karena setidaknya masyarakat akan menjadikan daftar tersebut sebagai patokan. Patokan-patokan ini yang nantinya akan bisa dijadikan landasan pengambilan keputusan untuk ketentuan dan batasan untuk kontrak bagi hasil.

Tidak hanya pada kontrak bagi hasil, tetapi subsidi bagi produsen juga mencangkup insentif pajak hingga saham kepemilikan terhadap pertambangan lepas pantai, kredit dan dukungan pembiayaan, kebijakan harga untuk pasar lokal, insentif tarif impor dan ekspor, saham istimewa BUMN, dan perlakuan istimewa untuk pemerintah lokal. Seperti dapat kita lihat, subsidi yang tidak diklasifikasikan tersebut dapat dengan mudah membayangi subsidi konsumen.

Isu ini tidak melulu tentang BBM. Indonesia, berbeda dengan negara-negara lain, meningkatkan kemandiriannya dengan membangun pabrik-pabrik pembangkit listrik batubara. Pembangkit listrik batubara memiliki tingkat polusi sangat tinggi dan tidak sehat. Sebagai tambahan, terdapat subsidi de facto dalam batubara yang tidak terlihat, seperti tidak menegakkan keamanan dan peraturan daerah tentang lingkungan, serta pertambangan ilegal yang mengenyampingkan pajak dan royalti yang harus dibayarkan.

Subsidi Listrik
Subsidi listrik di Indonesia juga patut dipertimbangkan. Contoh konkret pemborosan listrik di Indonesia dapat dilihat di kawasan Jalan Sudirman atau Cilandak. Di wilayah ini banyak gedung tinggi berpendingin udara (air conditioner/AC) terbaru sekelas Haier, Samsung, dan Carrier dengan listrik yang besar. Masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah di Australia atau Kanada bahkan tak akan membuang listrik untuk keperluan AC dan tak akan mengutamakan AC sebagai kebutuhan utama mereka. 

Bertolak belakang dengan yang terjadi di Indonesia. Masyarakat Indonesia menggunakan listrik secara berlebihan dan sangat tidak efisien walaupun sebenarnya biaya penggunaan listrik melebihi daya beli mereka. Pemerintah Indonesia tetap bersikeras menerapkan subsidi. Hal ini memunculkan kontradiksi terhadap perlakuan pemberian subsidi kepada produsen. Sebutlah subsidi yang begitu banyak kepada BUMN, menjual suplai energi (bahan bakar fosil) di bawah harga pasar kepada perusahaan lokal tertentu, pembayaran royalti dan pajak-pajak sumber daya yang tak dipungut, pengalihan sumber daya untuk pasar obligasi domestik, pengurangan biaya produksi, dan penafsiran nilai yang tidak akurat. Akibat dari banyaknya kontradiksi dan kebocoran itu tentu saja mencerminkan peluang untuk korupsi, penyelundupan, dan kolusi.
Apa yang telah dilakukan pemerintah untuk merespons kejadian ini? Sayangnya, pemerintah lebih memilih untuk terus menggunakan ketentuan dan peraturan demi stabilitas politik jangka pendek melalui kekayaan. Bangunan terbaru Jasa Marga dan bandar udara yang mewah serta dengan semakin banyaknya pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil sesungguhnya mengindikasikan meningkatnya ketergantungan dan bukan mengurangi ketergantungan. Pasar bahan bakar fosil di Indonesia sangat tidak efisien.

Meski demikian, sebelum mengambinghitamkan subsidi bagi konsumen, akan lebih baik untuk mengidentifikasi subsidi bagi produsen yang sangat sia-sia, yang sudah diketahui dengan jelas sangat banyak jumlahnya.
  
 Reza Faizal Daradjat


Referensi :
Will Hickey,
Associate Professor and Chair of Global Management Solbridge International School of Business, Daejeon, Korea