"Apa pendapat Anda tentang rencana pembentukan BUMN pangan
sebagaimana yang sering kita dengar akhir-akhir ini?" Seorang kawan
yang biasanya kritis bertanya kepada saya. Kemudian dengan
panjang-lebar ia menjelaskan soal kekayaan pengalaman Indonesia dalam
mengembangkan sistem ketahanan pangan nasional, mulai Bulog, Bimas,
Inmas, hingga KUD. Pada saat menjelaskan PT Pertani, ia berhenti
sejenak, kemudian ia bertanya: "Ke mana, ya, segala kejayaan PT Pertani
pada era 1970-an?" Ia juga bergumam, "Sang Hyang Seri juga kurang banyak
terlihat sekarang, kalah pamor dengan Pioneer." Bulog, ia mengatakan,
lebih baik dijadikan LPND kembali saja: "Isinya kan LPND, ganti baju
Perum, ya, enggak bisa, manusianya sama, isinya tetap."
Moral kepemimpinan Menteri BUMN Dahlan Iskan kelihatannya
mengedepankan moral bahwa tidak ada yang tidak mungkin?semua bisa! Saya
pikir ini suatu semangat yang bagus, seperti semangat Bung Karno sewaktu
menyatakan pendapat bahwa merdeka dulu, barulah nanti kita persiapkan
segalanya, karena kemerdekaan adalah gerbang emas untuk mencapai
Indonesia adil-makmur.
Kenyataan yang perlu dipertimbangkan adalah diperlukannya BUMN
pangan yang memiliki sifat dan sikap serta kapabilitas yang mampu
mengantisipasi dan menginternalkan masa depan melalui perubahan nilai
yang mendasar yang melandasi perubahan perilaku yang mendasar pula pada
saat sekarang. Dengan demikian, apakah perubahan struktur merupakan
instrumen strategis utama untuk membangun kinerja baru? Saya tidak
mengatakan perubahan struktur tidak penting. Tapi ada hal lain yang
dapat dipandang sebagai the first cause of changes, yaitu perubahan
paham atau paradigma.
Sebetulnya, yang paling berat buat saya adalah perasaan dan
pikiran saya saat membaca bahwa BUMN pangan yang akan dibentuk ini akan
membangun sawah 100 ribu hektare. Sepertinya BUMN pangan ini akan
berlomba dengan perusahaan swasta, nasional, atau multinasional, untuk
mencari lahan dan membangunnya sebagai basis usaha baru untuk mendukung
ketahanan pangan.
Terus terang saya tidak sependapat dengan paham bahwa perusahaan
besar layak menguasai lahan yang mahaluas. Indonesia ini sudah
kekurangan lahan untuk para petani. Andaikan saya ditanya: "Apa yang
akan Anda lakukan untuk membangun ketahanan pangan pada saat lahan sudah
tidak ada lagi?" Jawaban saya: "Maka, akan saya 'beli' kembali
lahan-lahan yang haknya sudah terkonversi menjadi lahan-lahan milik
perusahaan besar dan akan saya 'jual' kepada para petani. Saya akan
meniru Abraham Lincoln dengan Homestead Act 1862 untuk Indonesia. Hasil
'penjualan' lahan eks-HGU kepada petani akan memberikan penerimaan
negara yang lebih besar daripada nilai BPHTB HGU yang besarnya hanya 5
persen dari NJOP. Hasilnya akan saya gunakan buat membangun
infrastruktur dan institusi sosial-ekonomi pedesaan di mana lahan
tersebut berada. Inilah prinsip demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat,
untuk rakyat, demi NKRI yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan
makmur."
"Lha, nanti dijual lagi kalau petani memilikinya," kata teman
saya tadi. "Lha, kalau dimiliki perusahaan, apa tidak akan dijual lagi,
tidak akan dikonversi lagi?" Tidak, Bung! BSD, Sentul, dan lain-lain itu
dulunya apa? Banyak kasus lahan perkebunan dikonversi ke penggunaan
lain. Jadi: "Petani akan jual lagi, bukan argumen kuat," saya
menyanggah.
Saya berpendapat, bahkan perlu diundangkan, bahwa lahan pertanian
itu hanya untuk petani pada waktu yang akan datang. Kita sudah berada
dalam keadaan "darurat lahan", di mana sekitar 75 persen rumah tangga
petani di Jawa mengolah lahan yang sama atau kurang dari 0,5 ha dan,
secara nasional, rata-rata pemilikan lahan per rumah tangga petani,
menurut sensus 2003, adalah 0,79 ha, menurun dari 0,99 ha pada 1973.
Apabila perikanan laut di Selandia Baru diberikan haknya kepada bangsa
Maori, lahan tersisa di Indonesia dijadikan lahan bagi petani. Orang
Inggris saja memberikan jaminan lahan bagi bangsa Maori. Lebih-lebih
kita, orang asli Indonesia, mestinya lebih memperhatikan petani kita
yang berada dalam kesulitan.
Bagaimana mungkin perusahaan pertanian bisa hidup kalau tidak
memiliki lahan? Menarik! Karena inilah akar masalah paham dunia pada
zaman kolonialisme. Zaman pra-industri, kekayaan adalah lahan-Ricardian
rent. Ingat, kelapa sawit, karet, kakao, kopi, bahkan jagung, juga
bukanlah tanaman asli kita. Semua datang ke Nusantara dari hasil proses
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan dukungan legal untuk
mengeksploitasi natural comparative advantage Indonesia. Sekarang zaman
sudah berubah, zaman serba iptek. Ilmu pengetahuan, keahlian, dan seni
merupakan hasil akal-budi manusia yang telah banyak menggantikan hasil
dari sumber daya alam.
Dalam zaman iptek ini juga, kita menyaksikan, kecuali untuk
perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, kopi, lada, kakao, tebu, dan
seluruh komoditas perkebunan lainnya didominasi oleh petani. Apalagi
padi dan palawija, semua diusahakan oleh petani. Tampak sekali bahwa,
dalam bidang pertanian ini, petani adalah the real investors. Situasi
semacam ini terjadi juga di negara maju, dengan luas lahan pertanian
yang makin meningkat dari waktu ke waktu.
Nestle dapat dijadikan referensi perusahaan di bidang pangan yang
melarang dirinya sendiri memiliki perkebunan kakao atau peternakan sapi
dan memilih kerja sama atau membeli produk hasil petani. Pendapatan dan
keuntungan Nestle pada 2007 masing-masing adalah US$ 79,872,1 juta dan
US$ 7,335,9 juta, dengan posisi peringkat ke-56 dunia dalam Fortune 500.
Keuntungan Nestle tersebut hampir setara dengan keseluruhan keuntungan
BUMN Indonesia pada tahun yang sama, yaitu Rp 70,77 triliun. Sikap
Nestle yang berkaitan dengan tanah sangat penting untuk dicatat, apalagi
zaman sekarang land grabbing kembali menjadi isu dunia.
Mengapa kita tidak membangun BUMN pangan ala Nestle? Membuat
industri pangan berbasis tepung padi, jagung, pisang, ubi jalar, ubi
kayu, sukun sagu, dan bahan baku tepung lainnya yang dihasilkan seluruh
petani Indonesia? Mengapa tidak membangun BUMN yang bermitra-mesra
dengan para petani, sehingga petani juga makin bergairah berproduksi?
Sejarah perkebunan lebih dari 100 tahun memberi pembelajaran
bahwa membangun industri tidak dapat diserahkan kepada pihak lain. Moral
"mulung-muntah" atau menunggu relokasi atau menargetkan bangsa sendiri
menjadi kuli juga merupakan moral keliru. Dalam hal ini, kita bisa
berguru kepada Tata Tea, yang melambangkan pembelian Tetley, perusahaan
teh Inggris terbesar, sebagai simbol daya saing dan pemerdekaan. Tata
Tea juga berhasil mengembangkan de-estatifikasi perkebunan tehnya.
Bisa disimpulkan bahwa BUMN pangan yang diperlukan adalah BUMN
pangan yang memiliki sifat dan sikap yang selalu meningkatkan
kapabilitasnya demi pemerdekaan NKRI di bidang pangan yang
bermitra-mesra dengan petani. Apa yang akan dicapai pada 2045, 33 tahun
dari sekarang, pada saat kita merayakan 100 tahun NKRI? Semoga BUMN
pangan baru dapat memberikan sumbangsihnya bagi NKRI yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.